عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَطْرَحْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً وَفِي الْآخَرِ دَاءً
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah bersabda, “Jika ada lalat yang jatuh di tempat minum kalian, hendaklah ia benamkan seluruh badannya lalu membuangnya. Karena pada salah satu sayapnya ada obat, dan pada sayap satunya penyakit.”
Takhrij Hadits
Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya dua kali. Pertama Kitab ath-Thibb (kedokteran), bab apabila lalat jatuh di tempat minum. Kedua pada Bad’ul Khalqi (Awal Penciptaan), bab apabila lalat jatuh ke minuman salah seorang kamu, hendaklah dia membenamkannya; karena di salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap satunya ada obat penawar.
Hadits ini diriwayatkan dari tiga sahabat Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam dengan sanad yang berlainan.
- Sanad Abu Hurairah. Sanad ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Ahmad, Abu Daud, Imam An-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Imam Ibnu Majah dan ad-Darimi. Ibnu Sakan juga meriwayatkannya secara marfu’.
- Sanad Abu Said al-Khudri. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam Kitab Sunan-nya dengan redaksi, “Pada salah satu sayap lalat ada racun, dan pada sayap satunya lagi ada obat penawarnya. Maka jika lalat tersebut jatuh ke makanan, maka benamkanlah; sesungguhnya dia mendahulukan racun dan mengakhirkan obat penawarnya.” Imam Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi juga meriwayatkannya secara marfu’.
- Sanad Anas bin Malik. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam ad-Darimi.
Ketiga sanad tersebut diakui keshahihannya oleh para ulama pakar hadits. (Lihat, al-Badr al-Munir, Imam Ibnul Mulqin, 1/452-454; silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, 1/94-95)
Intisari hadits
Dari hadits ini bisa diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, lalat dalam bahasa Arab disebut dzubab. Serangga kecil ini dinamakan dengan kata tersebut karena banyak bergerak, berpindah-pindah dan mengerakkan sayap dengan cepat.
Kedua, menurut riwayat, salah satu khalifah bertanya kepada Imam Syafi’i, “Untuk apa lalat diciptakan?” beliau menjawab, “Untuk merendahkan para raja.” Dan beliau mengatakan, “Saat aku ditanya aku belum memiliki jawaban; tapi karena kulihat tingkah lalat seperti itu, maka kuambil kesimpulan demikian.
Ketiga, lalat memiliki sepasang sayap. Satu sayap membawa penyakit, sayap yang lan mengandung obat penawar. Jika jatuh ke dalam minuman atau makanan, lalat mengangkat sayap yang mengandung obat dan membenamkan sayap yang membawa penyakit. Cari itu adalah upaya proteksi alami yang dilakukan lalat. Karena itu, salah satu hikmah Allah, manusia diperintah membenamkan seluruh tubuh lalat agar sayap yang satu menjadi obat dari racun yang dilepaskannya. Hikmah lainnya agar manusia tidak tabdzir, hanya karena lalat jatuh di makanan atau minuman kemudian makanan itu dibuang.
Keempat, sabda Nabi , “Hendaklah dia membenamkan seluruh badannya lalu membuangnya”, menunjukkan sebuah perintah. Ini dikuatkan hadits lain riwayat al-Bazzar dari Tsumamah, “Ketika kami sedang duduk bersama sahabat Anas bin Malik, tiba-tiba lalat jatuh ke tempat minum. Anas lalu membenamkan lalat tersebut sebanyak tiga kali lalu mengucapkan ‘Bismilah’. Dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah memerintahkan demikian kepada mereka.” Hadits ini dinilai tsiqah oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani.
Kelima, lalat tidak halal dimakan. Boleh membunuh lalat untuk menghindari bahaya racun atau penyakit yang dibawanya. Caranya, lalat dibenamkan lalu dibuang.
Keenam, hadits ini pun menunjukkan bahwa tubuh lalat hidup atau mati tidak najis. Lalat juga tidak membuat benda lain najis, baik benda pada maupun cair. Jika sernagga in najis, tentu Rasulullah menyuruh umatnya membuang minuman atau makanan yang dihinggapi lalat sebagaimana perintah beliau atas benda-benda najis lainnya.
Ketujuh, lalat termasuk kategori hewan yang tidak punya darah yang mengalir. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir bisa diqiyaskan kepada lalat. Contohnya adalah lebah, kumbang, laba-laba, semut dan hewan-hewan lainnya yang sejenis. (Lihat Fathul Bary, 10/250; Aunul Ma’bud, 10/231; Taudhih al-Ahkam, 1/148; Mughni al-Muhtaj, 1/53).
Hewan Yang Darahnya Tidak Mengalir
Para ulama berbeda pendapat tentang status bangkai binatang yang darah di tubuhnya tidak mengalir. Apakah najis atau tidak.
Pendapat pertama, bangkai binatang ini tetap najis seperti bangkai-bangkai binatang pada umumnya. Dalilnya adalah keumuman ayat, “Diharamkan kepadamu bangkai, darah dan daging babi.” (QS. Al-Maidah: 3)
Penyebab hewan tersebut najis karena haram dimakan, sehingga bangkainya menjadi najis. Adapun perintah Rasul pada hadits tentang lalat di atas untuk menghindari dampak racun di sayap lalat dengan mencari penawar di sayap lainnya. Perintah Rasulullah berikutnya agar membuang lalat dari tempat minum menunjukkan bahwa lalat itu najis.
Lebih lanjut, hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir terbagi dua. Pertama, hewan yang hidup dan mati dalam habitatnya saja; seperti ulat, cacing air, belatung, dan kutu. Kedua, hewan yang hidup dan mati di mana saja. Contohnya adalah lalat, kumbang, kalajengking, cicak dan sebangsanya. Bangkai binatang kelompok kedua ini najis. Sedangkan bangkai binatang kelompok pertama, disepakati tidak najis sebagai keringanan dan dianggap ma’fu (dimaafkan). (Bahrul Madzhab, Imam ar-Ruyani, 1/299; al-Hawi al-Kabir, Imam al-Mawardi, 1/322)
Pendapat kedua, tidak najis.
Dasar hukumnya ialah hadits di atas. Pendapat ini diikuti oleh jumhur ulama fiqh. Begitu banyak ulama yang berpendapat demikian hingga Imam Ibnul Mundzir memandang tidak ada khilaf (perbedaan) di antara ulama. Kecuali hanya Imam Syafi’i yang memiliki dua pendapat. (Lihat, al-Isyraf Ibnul Mundzir, 1/145)
Imam al-Kasani, (ulama madzhab Hanafi) mengatakan, “Adapun bangkai binatang yang tidak mengalir darah merah di tubuhnya seperti lalat, kalajengking, kumbang, kepiting dan hewan sejenisnya tidak najis menurut madzhab kami (Hanafi). Menurut Imam najis, kecuali lalat dan kumbang yang mana ia memiliki dua pendapat.” (Bada’i ash-Shana’i, 1/62)
Imam Ibnu Abdil Barr, (ulama besar madzhab Maliki) barkata, “Ada beberapa bangkai yang tidak najis, yaitu setiap hewan yang tidak mengalir darah merah di tubuhya. Seperti kecoa, kumbang beserta jenis-jenisnya, kalajengking, jangkrik, dan hewan semisalnya. Dasarnya adalah hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Apabila seekor lalat terjatuh di tempat minum salah seorang kalian, hendaklah ia membenamkannya.” (Lihat, at-Tamhid, 1/337)
Imam Ibnu Qudamah, (Tokoh madzhab Hambali) mengatakan, “Setiap hewan yang tidak mengalir darah merah di tubuhnya, baik hewan darat ataupun air, seperti lintah, cacing, kepiting, dan sejenisnya; hukum bangkainya tidak najis dan tidak membuat najis air jika matinya di air. Demikian pendapat jumhur ulama fiqh.” (Lihat, al-Mughni, 1/60)
Imam Zarkasyi, (Ulama madzhab Hambali) berkata, “Binatang yang tidak mengalir darah merah di tubuhnya seperti lalat, kalajengking, kumbang tahi/kumbang tanduk, kumbang bunga/kumbang merah, semut, kutu, kepiting, dan hewan semisal. Juga cicak dan ulat sutra menurut satu pendapat, jika mati di air; maka tidak membuat air menjadi najis selama hewan-hewan tersebut tidak lahir dari benda-benda yang najis.
Imam Ahmad dalam riwayat lainnya menganggap bangkai tersebut najis. Sama hukumnya dengan hewan-hewan najis lainnya apabila mati di air. Adapun hewan yang lahirnya dari benda yang najis seperti kecoa kakus, hukumnya adalah najis, baik masih hidup atau sudah mati.” (Syarh az-Zarkasyi al-Mukhtashar al-Kharaqi, 1/153-155)
Pendapat kedua ini lebih diterima oleh Imam al-Ghazali dan Imam Nawawi selaku tokoh besar madzhab Syafi’i, bahkan dipandang sebagai pendapat terkuat dari Imam Syafi’i. Mereka telah memasukkan hewan yang tida memiliki darah yang mengalir sebagai bangkai yang dikecualikan dari kategori najis. (Lihat, al-Wajiz Imam al-Ghazali, 1/111-112; Minhaj ath-Thalibin, hal. 68; dan al-Majmu’, 1/180-181).
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa lalat, serangga dan hewan-hewan sejenis yant tidak memiliki darah mengalir hukumnya suci dan tidak menajisi benda padat ataupun benda cair lebih kuat. Kesimpulan ini mengacu kepada hadits dan kesepakatan ulama-ulama fiqh. Bangkai binatang tersebut tetap suci selama tidak mengubah salah satu sifat sucinya air.
Sumber: Majalah An-Najah edisi 119 hal. 54-55