Antara Islam dan Politik
Belum lama ini, umat lslam dikejutkan dengan pernyataan salah seorang tokoh nasional bahwa tidak ada politik dalam agama dan tidak ada agama dalam politik (Ia Siyasata fiddin wala addin fi siyasah).
Sebagai seorang muslim, tentu kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna Syariatnya mengatur seluruh dimensi kehidupan. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridnai Islam itu jadi agama bagimu..” (QS. aI-Maidah: 3).
Ini adalah perkataan Allah kepada orang-orang beriman mengenai kesempurnaan agama Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam at-Thabari dalam tafsimya, “Wahai orang-orang yang beriman hari ini telah kusempurnakan untuk kalian, kewajiban, batasan, perintah, larangan, halal maupun haram. Semua telan Kuturunkan dalam kitab-Ku. Adapun penjelasan lengkap wahyu-wahyu itu dapat dipahami melalui paraan Rasulmu dan telah Kutetapkan semua dalil-dalil dari “apa yang kalian butuhkan dari seluruh permasalahan agama kalian, dan tidak ada tambahan lagi setelah hari ini (Peristiwa haji wada’)”. (Jami’ al-bayan fi ta’wil alqur’an, 9/517). .
Adapun, kaitan Islam dengan politik adalah ibarat mata rantai yang tak bisa dipisah satu dengan yang lainnya. Bahkan menurut Imam al-Ghazali, Islam dan politik adalah dua saudara kembar yang tak dapat dipisah. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akar roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan hilang lenyap (al-lqtishad fil i’tiqad, hal. 128).
Pemahaman bahwa antara agama dan politik adalah dua kutub yang berbeda akan membawa dampak serius pada permasalahan aqidah, sebab ia berpotensi melahirkan penolakan terhadap aturanaturan hidup yang berlandas pada syari’at. Padahal menolak syari’at termasuk salah satu perkara yang membahayakan keimanan.
POLITIK DALAM ISLAM
Pembahasan politik dalam Islam dikenal dengan as-siyasah as-syari’iyah, maknanya adalah tindakan yang membuat rakyat lebih dekat kepada keshalihan dan lebih jauh dari kerusakan, meskipun tindakan tersebut tidak pernah ditetapkan oleh Rasulullah dan tidak pernah ada wahyu (dalil Al-Qur’an atau hadits) yang turun tentangnya.” (at-Thuruq al-Hukmiyah, lbnul Qayyim al-Jauziyah, hlm. 12)
Menurut Abdul Wahab Khalaf adalah pembicaraan yang berkaitan dengan tata aturan sebuah negara Islam dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan dan menjauhi kemadharatan tanpa melanggar perkara-perkara ushul (keyakinan) dalam syari’at walaupun dalam perkara yang tidak disepakati oleh para mujtahid. ” (as-siyasah syar’iyah fi syu’un ad-dusturiyah wal kharijiyah wal maliyah, hal. 20)
Imam Al-Mawardi dalam pengantar kitabnya menyebutkan, “Allah memerintahkan umat manusia untuk mengangkat seorang pemimpin yang meneruskan tugas kenabian dan menegakkan prinsip agama. Ia diberi mandat jabatan politik agar memelihara agama yang telah ditetapkan dan mengeluarkan berbagai kebijakan berlandaskan pemikiran yang benar. Dengan demikian, kepemimpinan harus berpegang teguh kepada kaidah-kaidah agama dan berorientasi kepada kemaslahatan umat” (al-ahkam as-sulthaniyah, hal. 13)
lbnu Taimiyah agak sedikit berbeda dalam memandang siyasah syar’iyah. Siyasah syari’iyah dalam pandangan beliau adalah perkara yang berkaitan dengan amanah, sebagaimana difirmankan Allah, yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-u baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. an-Nisa: 58). Amanah dalam konteks ini adalah syari’at. Oleh karenanya amanah harusiah diserahkan kepada orang yang berkapabilitas untuk menjaga Syari’at itu. Ia harus bisa menegakaan keadilan, mematuhi dan menjalankan syari’at Allah serta mengembalikan semua permasalahan kepada al-Qur’an dan sunnah.” (as-siyasah as-syar’iyah, hal. 6).
Ringkasnya, siyasah syar’iyah merupakan sebuah cara mencapai kemaslahatan secara umum baik berkaitan dengan urusan agama (hifz ad-ddin) atau yang berkaitan dengan dunia (siyasatu ad-dunya bihi).
ADOPSI SEJARAH KELAM BANGSA BARAT
Pemisahan antara agama dan politik sebenarnya berkaitan erat dengan sejarah kelam bangsa Barat. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) telah mengalami masa yang paling pahit, yang mereka sebut dengan zaman kegelapan (the Dark Ages). Mereka menyebutnya juga sebagai zaman pertengahan (The medieval ages), saat itu Barat dipimpin oleh Rezim Ancien di bawah pemerintahan dinasti Valois dan Bourbon pada abad ke-14 sampai abad ke-18 yang mendasarkan kekuasaan pada tiga pilar: monarki, kependetaan, dan aristokrasi. Masyarakat dibagi menjadi tiga kelompok: Pendeta Katolik, bangsawan, dan rakyat biasa. Rezim Ancien menerapkan banyak aspek feodalisme, khususnya hak-hak istimewa untuk kalangan pendeta dan bagsawan yang didukung oleh doktrin Kuasa Raja dari Tuhan.
Dampaknya muncul gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Barat. Pada masa itu dewan gereja mempunyai kewenangan mutlak dalam mengatur masyarakat, masyarakat Barat ketika itu benar-benar seperti merasakan kematian dalam kehidupan. Sebab gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni serta tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi kepada mereka yang dianggap menentang dewan Gereja.
Dari sinilah, dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh agama yang berkolaborasi dengan penguasa zalim penindas rakyat berpengaruh besar terhadap sikap Barat dalam memandang agama. Tidak heran, jika pada era berikutnya (abad 18), muncul sikap antipemuka agama (anti-clericalism). Trauma inilah yang kemudian melahirkan paham sekulerisme dalam politik. Mereka selalu beralasan, bahwa jika agama dicampur dengan politik, maka akan terjadi “politisasi agama”, agama haruslah dipisah dari negara, karena agama dianggap sebagai wilayah pribadi dan politik (negara) adalah wilayah publik. Dan faktanya, ketika Barat melepaskan diri dari agama terjadi perkembangan pesat pada sains maupun teknologi hingga hari ini.
Namun perlu kita pahami bahwa agama yang dianut Barat saat itu adalah Kristen yang telah didistorsi, bukan Kristen sebagaimana yang dibawa Nabi Isa, sehingga wajar saja jika agama dipakai untuk mengatur masyarakat menyebabkan kemunduran, karena memang agamanya bermasalah. Permasalahannya, menurut Dr. Adian Husaini dalam tesisnya, “Wajah Peradaban Barat” ada tiga hal; pertama, problem sejarah Kristen yang kelam, Kedua problem teks Bible yang sudah tidak asli lagi, ketiga, problem teologi/ketuhanan agama Kristen yang membingungkan.
Doktrin sekuler itulah yang hari ini dipaksa diterapkan kepada ummat islam. Padahal dalam islam hal yang semisal tak mungkin terjadi. karena landasan Islam adalah ilmu pengetahuan yang tidak mungkin bertentangan dengan akal. Semua permasalahan dalam Islam, baik pada tataran prinsip (ushul) maupun pada tataran prakteknyanya (furu’) telah dibahas oleh para ulama. Karenanya, kemajuan ummat Islam akan terwujud justru ketika ummat Islam kembali kepada agamanya dengan menjadi muslim yang kaafah (utuh).
KETIKA AGAMA TERPISAH DARI POLITIK
Dalam Lintas sejarah negeri ini, tepatnya di Aceh era kolinialisme Belanda yang dipelopori oleh seorang Orientalis Belanda bernama Snouck Hourgronje. Snouck H. ketika itu bertindak sebagai penasehat bagi kerajaan Belanda di Aceh. Snouck H. merekomendasikan kepada pemerintah Hindia Belanda supaya melestarikan tradisi nenek moyang masyarakat pribumi dan mengusahakan supaya Islam menjadi “agama masjid” saja. Pendapat ini muncul akibat kecemasan Snouck ketika Islam terlibat dalam ranah politik maka akan mengancam kemapanan kolonialisme. Bagi Snouck H., musuh utama Belanda bukanlah Islam sebagi doktrin agama, melainkan islam sebagai doktrin politik. Pendapatnya ini tebukti berhasil melemahkan semangat juang rakyat Aceh dan merasa nyaman hidup dibawah kekuasaan Belanda.
Jadi jelaslah bagi umat Islam bahwa pemikiran pemisahan antara Islam dan politik adalah sebuah pemikiran yang jika dirunut sumbernya berasal dari sejarah kelam bangsa Barat yang diadopsi dan dipaksa untuk diterapkan ditengah-tengah kaum muslimin, pemikiran ini jika dibiarkan tentu akan membawa dampak destruktif bagi kebangkitan dan kemajuan Islam. Wallahu a’lam
(ar risalah: 191)