Anakmu Adalah Cita-Cita Dan Perjuanganmu
Urwah bin Zubair rahimahullah menyampaikan bahwa para shahabat Rasul (termasuk ayahanda beliau yaitu Zubair bin Awwam radhiyallaahu ‘anhu) mengisahkan kepada anak-anak mereka peperangan dan kepahlawanan Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam di medan laga, sebagaimana mereka mengajarkan ayat-ayat al-Qur’an.
Dua nilai yang ingin ditularkan oleh para shahabat Rasul kepada anak-anak mereka yaitu kekuatan iman dalam memegang teguh al-Qur’an sebagai pedoman hidup, dan perjuangan memuliakan Islam sebagai aktivitas paling penting di dunia. Dua nilai yang tidak pernah hilang dari kehidupan para shahabat radhiyallahu ‘anhum
Hasil dari pendidikan yang diterapkan oleh para shahabat (terkhusus dalam kisah ini adalah Zubair bin Awwam radhiyallah ‘anhu), maka lahirlah pahlawan-pahlawan Islam besar dari tulang sulbinya (dua yang paling terkenal) yaitu shahabat Abdullah bin Zubair bin Awwam radhiyallahu anhumaa dan Urwah bin Zubair bin Awwam rahimahullah seorang imam besar tabi’in salah seorang diantara tujuh ulama besar tabi’in yang berdiam di Madinah.
Demikian pula yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyaallaahu ‘anhu, putera beliau bernama Muhammad al-Hanafiyah mengisahkan bahwa sejak kecil beliau dididik oleh ayahandanya tampil sebagai penempur demi memuliakan Islam dan melindungi kedua anak kesayangan, Hasan dan Husain radhiyallahu ‘anhumaa. Hasan dan Husain tidak diragukan lagi, adalah dua pemuda yang menjadi penghulu para pemuda di sorga (sebagiamana yang disampaikan oleh Rasul Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam). Sedangkan Muhammad al-Hanafiyah rahimahullah ketika dewasa menjadi ulama besar tabi’in dan jagoan perang yang mengalahkan pahlawanan pilihan dari Romawi Timur yang dikirim untuk menguji kehebatan kaum muslimin dihadapan Khalifah Mua’wiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhumaa.
Dua kisah di atas hanyalah sepenggal perjalanan hidup yang dilakukan oleh shahabat (manusia-manusia terbaik umat Islam) yang didik langsung oleh penghulu umat manusia yaitu Rasul Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menumpahkan cita-cita mulia dunia dan akhirat kepada anak-anak keturunannya. Semua kebaikan dipotret dan dicopy-paste langsung ke dalam jiwa anak keturunan.
Jangan heran, apabila kita mendapatkan dari pernikahan para shahabat Rasul lahirlah ulama-ulama dan pejuang-pejuang Islam tangguh, yang menjadi generasi terbaik kedua setelah mereka. Bahkan Rasulpun memuji generasi Ini.
خير القرون قرني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (shahabat), kemudian generasi setelahnya (tabi’in) kemudian generasi setelhanya (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari)
Karena mereka mementingkan akhirat dan menomor dua-kan dunia, gagalkah kehidupan dunia mereka? Tidak, bagaimana mungkin gagal sedangkan mereka adalah orang-orang yang dicintai Allah. kisah hidup aktor yang kita bicarakan di atas:
Zubair bin Awwam radhiyallah ‘anhu adalah shahabat yang tanahnya ketika dijual (setelah beliau wafat) bernilai 1,9 juta dinar (satu dinar senilai +/- 2 juta rupiah).
Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu adalah penguasa jazirah Arab dan Mesir serta Irak, dan beliau mati syahid dalam peperangan melawan penguasa dholim Hajaj bin Yusuf.
Al-Imam Urwah bin Zubair rahimahullah adalah ulama besar tabi’in yang kaya raya, salah satu kekayaannya adalah peternakan kuda Arab berjumlah sekitar 1000 ekor kuda (coba bayangkan kalau nilai satu ekor Arabian Horse menurut salah satu situs berita adalah seharga satu mobil mewah” ada yang menyebut angka 3 milyar).
Sedangkan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu adalah salah seorang khulafa’ur rasyidin, yang menguasai dunia Islam di waktu itu
Hasan bin Ali radhiyallahu ’anhu adalah seorang ahli ibadah yang kaya raya. Muhammad bin Sirin rahimahullah menyampaikan bahwa Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu biasa memberi shadaqah kepada orang lain senilai 10.000 dinar.
Muhammad al-Hanafiyah rahimahullah adalah seorang ulama dan pejuang yang pernah mendapatkan tawaran dari Khalifah Abdul Malik bin Marwan kekayaan sebesar 10 juta dinar, maka beliau tolak dengan halus dan penuh kehormatan.
Oleh karenanya, tanamkan kepada anak keturunan kita ketaqwaan, maka Allah akan melimpahkan kepada anak-anak kita kemuliaan dunia dan akhirat.
Imam ibnul Qoyim al-Jauziyyah mengisahkan bahwa suatu hari Nabi Da’ud ‘alaihis salaam berdoa memohon kepada Allah tala’a agar melimpahkan kebaikan kepada anak-anaknya, sebagaimana Allah melimpahkan kebaikan kepada dirinya. Maka Allah ta’ala menjawab: “Ajarkan kepada anak-anakmu untuk berbuat baik kepada-Ku, sebagaimana engkau berbuat baik kepada-Ku. Maka Aku akan berbuat baik kepada mereka, sebagaimana Aku berbuat baik kepadamu.”
Oleh karenanya, kepada orang tua yang masih menganggap bahwa pendidikan terpenting bagi anak adalah ilmu dunia. Dengan penuh rasa hormat kita sampaikan bahwa anda tidak perlu khawatir akan nasib dunia anak-anak keturunan anda.
Kenapa…?
Karena Allah telah menjamin kebutuhan dunia umat manusia, bukankah Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (QS. al-A’raf: 10)
Problematika hidup manusia di dunia adalah “Kurang bersyukur kepada nikmat Allah,” begitu ungkapan Rabb Penguasa alam semesta yang Maha Pengasih, Maha Kaya dan Maha Bijaksana.
Akan tetapi ingat, Allah ta’ala tidak menjamin akhirat anak-anak kita, kecuali anak-anak yang dididik oleh orang tua dengan pendidikan Islam yang lurus dan kuat.
Kalau anda adalah orang tua khawatir banyak sekolah yang tidak bisa menjadikan anak keturunan anda menjadi manusia pandai, maka dengan penuh rasa hormat kita sampaikan bahwa tidak ada sekolah di nusantara ini yang tidak bercita-cita dan berusaha mencerdaskan anak-anak didiknya.
Hanya saja, tidak semua sekolah memiliki cita-cita menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah dan pejuang Islam yang tangguh .
Apalagi, Gesekan umat Islam hari ini dengan “musuh-musuhnya yang beringas,” menuntut setiap orang tua muslim agar bersungguh-sungguh mendidik anak dan menanamkan ketaqwaan kepada mereka. Karena, apabila anak-anak tidak ditanamkan ketaqwaan dan semangat juang, sangat mungkin apa yang menimpa umat Islam di Xinjiang (Turkistan Timur) akan dialami oleh umat Islam di nusantara.
Belum tentu kita yang hari ini nyaman beribadah kepada Allah, 20 tahun yang akan datang anak cucu kita juga merasakan nyaman beribadah seperti masa kita hari ini. (Ust. Fakhrurozy Abu Syamil)