Anak Meninggal Sebelum Hari Ke 7, Haruskah di Aqiqahi?

Himayah Fundatin – Jumhur ulama’ berpendapat bahwa yang berhak di aqiqahi adalah anak laki – laki dan anak perempuan yang masih kecil saja. Berdasarkan sabda Rosulullah:

تذبح عنه يوم سابعه

“Sisembelih pada hari yang ketujuh setelah kelahiranya.”. (HR An Nasai 3225 , At Tirmidzi :1522 ).

sedang Al Hasan menolak tentang pendapat jumhur dengan mengatakan : bahwa anak perempuan tidak usah di aqiqohi. Dengan dalil karena didalam hadist menggunakan lafadz mudzakar yaitu “setiap ghulam (anak laki laki ) tergadaikan dengan aqiqahnya”.

Mengenai waktu pelaksanaan aqiqah terjadi silang pendapat diantara para ulama’:

Pertama: Ulama’ yang berpendapat bahwa aqiqah dilaksanakan pada hari yang ketujuh dan apabila sudah lebih dari itu maka kewajiban untuk melaksanakannyanya gugur.Pendapat ini yang mashur dari riwayat Imam Malik berdasarkan zhahir hadits yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’I dan At Tirmidzi sebagaimana yang disebutkan diatas.

Adapun Jika anak tersebut meninggal sebelum hari yang tujuh maka aqiqahnya gugur,dan ini adalah pendapat imam malik.

Kedua: Ulama yang berpendapat Sunnah dikerjakan pada hari yang ketujuh akan tetapi boleh juga dilaksanakan meskipun sudah melewati hari yang ketujuh. Pendapat ini dipegangi oleh Hanabalah dan Syafi’iyyah dan sebuah riwayat dari Imam Malik yang riwayatkan oleh Ibnu Wahb.

Mereka yang memegang pendapat ini berdalil dengan hadits At Thabrani dan Imam Al Baihaqi dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya dari nabi Salallhualaihiwasallam bahwa beliau bersabda:

العقيقة تذبح لسبع و لأربع عشرة و لإحدى و عشرين

Akan tetapi hadits ini dilemahkan oleh para ulama hadit karena didalam sanadnya terdapat Ismail bin Muslim yang dilemahkan oleh para ulama’ hadits.

Kemuidian Syaikh Ubaidullah Ibrahim bin Hamdi Abu Abu Abdirrohman dalam bukunya “Al Insyiroh fii Adabin Nikah” mengetengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al hakim yang bersunber dari Aisyah radliyallhu’anha melalui jalur Ibrahim bin Abdillah dari Yazid bin harun dari Abdul malik bin Abi Sualaiman dari Atha’ dari Ummu Kurz keduanya berkata: Seorang Wanita dari keluarga Aburrahman bin Abi Bakar bernadzar apabila istri Abdurrhaman melahirkan maka ia akan menyembelih unta, lalu Aisyah berkata: Mengikuti Sunnah lebih utama, bagi anak laki-laki dua ekor kambing dan anak perempuan satu ekor kambing, jangan dipatahkan tulangnya, dan hendaklah sebagian dagingnya dimakan sendiri dan lebihnya dishadaqahkan. Hendaklah hal iru dilakukan pada hari ketujuh, jika tidak bisa maka pada hari keempat belas dan jika tidak bisa maka pada hari kedua puluh satu”.

Al Hakim menyatakan Sanadnya Shahih dan disetujui oleh Adz Dzahabi, akan tetapi riwayat ini juga dilemahkan oleh sebagian ulama’ karena terputusnya antara Ataha’ dan Ummu Kurz.( Al Insyirah fii Adabin Nikah terjemahan. Hal : 188-189).

Imam Syafi’I mengatakan: “Disebutkan hari ketujuh dalam hadits adalah berfaidah ikhtiyari bukan sebagai ta’yin. (Nailil Authar : 5/225).

Imam Ibnu Hajar menukil perkataan Ar Rafi’I dengan mengatakan: Ikhtiyar yang dimaksud adalah hendaknya jangan diakhirkan sampai anak mencapai usia balig sebab kalau aqiqah diakhirkan sampai anak mencapai usia baligh maka kewajiban orang tua untuk mengaqiqahi menjadi gugur akan tetapi kalau dia ingin mengaqiqahkan dirinya maka diperbolehkan. (Fathul baary : 9/742).

Beliau juga mengatakan:Imam At Tirmidzi menukil dari para ahlul ilmi bahwa mereka memustahbkan aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh, apabila belum memungkinkan maka boleh dilaksanakan pada keempat belas, apabila belum memungkinkan juga maka pada hari keduapuluh satu, lalu beliu mengatakan “namun pendapapat ini tidak diriwayatkan secara sharih keculai dari Abu Abdillah Al Busyanji dan dari Shalih bin Ahmad dari ayahnya”. ( Fathul baari: 9/742).

Ibnu Qudmah Rahimahullah mengatakan: “Sahabat-Sahabat Kami mengatakan adalah mustahab apabila Aqiqahnya disembelih pada hari ketujuh, apabila terlewatkankan maka pada hari keempat belas, apabila terlewatkan juga maka pada hari yang keduapuluh satu, pendapat ini diriwayatkan dari Aisyah Radliyallhu’anha dan demikian juga pendapat Ishaq. (Al Mughni : 13/ 396 ).

Kemudian beliau menjelaskan bahwa apabila sudah melebihi dua puluh satu hari maka mustahab dilaksanakan pada setiap kelipatan bilangan tujuh yaitu dua puluh delapan, apabila tidak bisa maka pada hari ketiga puluh lima, atau boleh jadi maksudnya adalah boleh dilaksanakan kapan saja karena hal semacam ini bisa dianggap sebagai qodla’.

Imam Malik berkata “Pada lahirnya penetapan hari ketujuh itu bersifat anjuran sekiranya penyembelihan pada hari yang keempat,atau kedelapan atau kesepuluh,atau setelahnya maka aqiqahnya itu tetap cukup.

Penadapat semacam ini juga diungkapkan oleh Imam Asy Syairozi dengan mengatakan: “Apabila hewan Aqiqahnya di sembelih pada hari ke tujuh atau sebelumnya maka ia tetap diberi pahala akan tetapi kalau penyembelihan dilaksanakan sebelum lahi maka tidak hitung sebagai sembelihan Aqiqah tanpa ada perbedaan pendapat dan hanya dihitung sebagai sembelihan biasa. (Al Majmu’Syarhul Muhadzzab : 8/646).

Imam An Nawawi mengatakan Sahabat-Sahabat kami berpendapat bahwa kewajiban aqiqah itu tidak berarti berlalu dengan berlalunya hari yang ketujuh akan tetapi mustahab untuk tidak diakhirkan sampai melebihi hari yang ketujuh hinga anak mencapai usia baligh.Ada juga yang berpendapat bahwa apa bila sudah berlalu tiga pekan maka hilanglah waktu yang dimaksudkan.(Al Majmu’: 8/323).

Sedangkan Imam Ar Rofi’I mengatakan: Apabila aqiqahnya diakhirkan sampai anak mencapai usia baligh maka gugurlah kewajiban orang tua untuk mengaqeqahinya dan anak boleh memilih untuk mengaqiqahi dirinya. ( Al Majmu’: 8/323).

Sebagian Ulama’ dari madzhab Imam Hambali dan sebagian Syafi’ayyah seperti Ar Rofi’I perpendapat bahwa apa bila seorang anak belum diaqiqahi sementara dia sudah mencapai Usia baligh maka mustahab baginya untuk mengaqiqahkan dirinya dan aqiqah itu tidak dikhususkan bagi anak kecil saja maka boleh bagi seorang Ayah mengaqiqahkan Anaknya meskipun sudah baligh karena tidak batasan waktu akhir. ( Al Fiqh Al Islamy : 3/638).

Mereka berdalil dengan hadits yang di riwayatkat dari Anas bin Malik :

أن النبي عق عن نفسه بعد البعثة

”Bahwasahnya Nabi beraqiqoh untuk dirinya sendiri setelah ia diutusnya menjadi Nabi” (HR Al Baihaqi ). ( Bidayatul mujtahid : 1/339 ).

Imam nawawi mengatakan hadist ini Bathil,sedang menurut imam Ahmad hadist ini adalah mungkar . (Subulus Salam 4/181).

Kemudian apakah hari ke tujuhnya dihitung dari hari lahirnya ataukah dihitung dari satu hari setelah kelahiran?, Malikiyah berpendapat bahwa hari ketujuh dihitung dari hari kelahirannya apabila lahir sebelum fajar atau bersamaan dengan terbitnya fajar, dan hari lahirnya tidak dihitung apabila lahirnya setelah fajar, dalam riwayat yang lain mereka bependapat hari ketujuh dihitung apabila ia lahir sebelum matahari tergelincir dan tidak dihitung apabila lahir sesudah itu.Dan mustahab hewannya disembelih pagi hari atau sebelum matahari tergelincir bukan pada malam hari. (Al Fiqh Al Islami : 3/638).

Dari beberapa pendapat dan riwayat di atas bisa disimpulkan bahwa berkenaan denagn waktu dilaksanakannya aqiqah para ulama’ jumhur ulama’ sepakat bahwa melaksanakan aqiqah paa hari yang ketujuh adalah Sunnah. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah boleh aqiqah dilaksanakan setelah hati yang ketujuh?, sebagian Ulama’ membolehkannya dengan melaksanakannya pada setiap kelipatan hari ketujuh dari kelahiran sampai hari yang ketiga puluh lima, sebagaian ulama lagi membatasinya hingga usia baligh dan sebagian lagi mmbolehkan meskipun sudah dewasa. (Oase Imani)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *