Al Quran Sepanjang Zaman
Oleh: Abu Athif, Lc
Empat belas abad yang lalu Al Quran diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alalihi wasallam sebagai bentuk rahmat-Nya kepada manusia. Menjadi pembimbing dalam menyusuri jalan kehidupan yang layak bagi mereka. Kehadiran Al Quran di tengah masyarakat jahiliyah pada saat itu bak sebuah mata air yang memancarkan kehidupan baru. Bagaimana tidak, kerusakan moral yang begitu memprihatinkan telah sampai pada titik nadir. Kekejian prilaku dan kebodohan pemikiran telah memberikan dampak buruk pada masyarakat Arab khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya. Hal itu semua membawa mereka pada titik rendahnya suatu peradaban.
Tatkala Islam datang kepada mereka, sedikit demi sedikit keburukan mulai terkikis, kegelapan demi kegelapan mulai memudar. Perjuangan Nabi Muhammad shalallahu ‘alalihi wasallam beserta para sahabatnya dalam mendakwahkan Al Qurân nampaknya telah menuai hasil yang begitu menggembirakan, khususnya pasca peristiwa penaklukan kota Makkah dan penyuciannya dari segala sesembahan selain Allah. Kabar kemenangan kaum muslimin ini terdengar di seantero Jazirah Arab.
Kedatangan Al Qurân yang membawa hukum-hukum Ilahi tersebut telah membawa perubahan positif yang begitu menakjubkan. Dalam kurun waktu yang dibilang cukup singkat yaitu sekitar 23 tahun, Islam dengan Al Qurân dan Hadîts sebagai sumber hukumnya telah mampu memberikan perubahan positif yang besar di kawasan Arab khususnya dan dunia pada umumnya. Hal itu tergambar dengan datangnya para pembesar kabilah yang ada di jazirah Arab mendatangi Rasulullah shalallahu ‘alalihi wasallam dan berbondong-bondong masuk Islam, sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkenaan dengan surat An Nashr. (Tafsir Al Qurânul ‘Adzim, Imam Ibnu Katsir: 4/567)
Seiring pesatnya perkembangan dakwah Islam yang menyerukan ketundukan berhukum dengan Al Qurân dan As Sunnah, maka semakin besar pula kebencian dan kedengkian orang-orang kafir dan munafik. Mereka tidak berhenti dalam upaya-upaya penghancuran Islam, baik dari dalam maupun dari luar. Peperangan demi peperangan telah dilancarkan kaum kuffar sejak zaman Nabi shalallahu ‘alalihi wasallam hingga zaman kini guna memadamkan cahaya Islam. Pengerusakan aqidah pun juga menjadi target, dalam hal ini kaum kuffar berupaya untuk meruntuhkan sendi-sendi aqidah kaum muslimin terhadap sumber hukum mereka. Tak pelak, kajian-kajjian orientalis yang bertujuan menaburkan keraguan akan otentitas Al Qurân banyak digelar di mana-mana.
Syubhat-syubhat berkaitan dengan otentitas Al Qurân telah banyak dipropagandakan oleh kaum orientalis. Hal itu dilakukan karena mereka melihat bahwa Al Qurân adalah jantung dari ajaran Islam. Sehingga mereka berpikir, jika ingin menghancurkan Islam, langkah utama yang harus ditempuh adalah menghancurkan jantungnya (Al Qurân). Jalan untuk mengalahkan kaum muslimin adalah dengan cara menjauhkan mereka dari pengaruh dan ajaran Al Qurân. Allah ‘azza wajalla berfirman tentang makar mereka:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُون
“Dan orang-orang kafir berkata: “Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qurân ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya supaya kalian dapat mengalahkan (mereka)”. (QS. Fushilat : 26)
Perkataan mereka seperti Al Qurân adalah hasil karya Muhammad bukan wahyu Tuhan, atau Al Qurân adalah kumpulan kata-kata sihir, atau tuduhan-tuduhan murahan lainnya sebenarnya bukan barang yang baru lagi dalam sejarah perkembangan Islam. Sejak diutusnya Nabi Muhammad shalallahu ‘alalihi wasallam dan semenjak diturunkan wahyu Al Qurân, pertentangan dan permusuhan dari orang kafir dan musyrik telah dimulai. Sebagian bukti dari penodaan Al Qurân yang telah dilakukan oleh kaum kuffar pada zaman Nabi adalah sebagaimana yang diabadikan dalam Al Qurân :
فَقَالَ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ يُؤْثَرُ (24) إِنْ هَذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ (25
“Ia berkata : (Al Qurân) ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang dahulu) ini tidak lain hanyalah perkataan manusia”. (Al Muddatsir : 24 – 25)
Allah ‘azza wajalla telah memberikan penegasan akan kekeliruan dan persangkaan buruk mereka melalui firman-Nya :
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا أَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيلٍ
“Katakanlah: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian kebenaran (Al Qurân) dari Robb kalian, sebab itu barang siapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri, dan barang siapa yang sesat, maka sesungguhnya kesesatan itu mencelakakan dirinya sendiri, dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap kalian”. (QS. Yunus : 108)
Dalam ayat lain Allah ‘azza wajalla menegaskan pula bahwa apa-apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alalihi wasallam adalah wahyu, seperti apa yang tercantum dalam ayat :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى (3) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى (4
“Dan tiadalah diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An Najm : 3 – 4)
Eksistensi Al Qurân di tengah hujatan kaum kuffar orientalis dan makar-makar zionis sebenarnya menjadi bukti akan keotentikannya serta tanda kebesaran Allah ‘azza wajalla yang ditampakkan atas manusia agar mereka mau berpikir. Setidaknya ada tiga karakter khusus yang dimiliki Al Qurân dalam kekuatan eksistensinya: pertama, Penjagaan Al Qurân dari sisi Allah ‘Azza wajalla. Kedua, Kemudahan Al Qurân untuk dipelajari oleh semua kalangan. Ketiga, Relevansi Al Qurân dengan ruang dan zaman.
Penjagaan Al Qurân
Al Qurân merupakan kitab suci yang tak luput dari penjagaan dan pengawasan Allah ‘Azza wajalla. Di dalamnya termuat cakupan hukum dan syari’at yang sudah semestinya tidak berubah-ubah sebagai ketentuan Allah ‘azza wajalla Yang Maha Mengetahui kehidupan ini lagi Maha Sempurna. Penambahan dan revisi-revisi dalam suatu kitab menunjukkan kekuarangan dari kitab tersebut dan penyusunannya, namun Al Qurân bukanlah seperti kitab biasa, dia adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah Dzat Yang Maha Sempurna, maka sudah selayaknya Al Qurân sempurna. Karena kesempurnaan itulah Al Qurân senantiasa terjaga kemurniannya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah ‘azza wajalla dalam firman-Nya :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qurân dan sesungguhnya Kami-lah yang benar-benar memeliharanya”. (QS. Al Hijr: 9 )
Ayat tersebut merupakan jaminan dari Allah ta’ala tentang kesucian dan kemurnian Al Qurân, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan: “…kemudian Allah ta’ala menetapkan bahwa Dia-lah yang menurunkan kepadanya (Muhammad) Adz Dzikr yaitu Al Qurân dan Dia-lah yang menjaganya dari perubahan dan penggantian”. (Tafsir Al Qurânul ‘Adzim, Imam Ibnu Katsir)
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya menyebutkan sebuah kisah yang terjadi pada zaman kholifah Ma’mun. beliau menyebutkan : “Dahulu, Kholifah ma’mun memiliki majelis ilmu untuk berdiskusi, lalu masuklah di antara kumpulan manusia ada seorang Yahudi yang berpakaian baik, berwajah baik dan harum baunya. Lalu ia mulai berbicara dan membaguskan pembicaraannya, maka tatkala selesai majelis tersebut, Kholifah Ma’mun memanggilnya; Apakah engkau seorang Yahudi? Ia menjawab; ya benar. Kholifah Ma’mun berkata lagi kepadanya; Islamlah kamu hingga aku bisa melakukan sesuatu untukmu. Dan ia pun menjanjikan kepadanya sesuatu. Lalu laki-laku itu menjawab; agamaku adalah agama nenek moyangku! Lalu ia pun pergi. Setelah setahun kemudian, laki-laki tadi mendatangi kholifah Ma’mun dalam majlis yanag sama dan ia telah menjadi seorang muslim. Lalu ia berkata dengan perkataan yang bagus dalam masalah fiqh. Setelah selesai majlis, kholifah Ma’mun bertanya keheranan; Apakah engkau orang yang dahulu mendatangi kami? Ia menjawab; ya benar. Kholifah Ma’mun bertanya lagi; apa yang menyebabkan kamu berislam? Ia menjawab: setelah aku pergi dari majlismu, aku berkeinginan menguji semua agama sedang engkau melihat saya sebagai seorang yang elok tulisannya, maka aku sengaja menambahkan dan mengurangi dalam Taurot lalu aku memasukkannya ke dalam tempat ibadah mereka, lalu dibeli oleh mereka. Kemudian aku sengaja menambahkan dan mengurangi ayat-ayat Injil, lalu aku menyerahkanya kepada para pendeta dan mereka membelinya dariku. Kemudian aku sengaja memasukkan tiga tulisan dalam Al Qurân dan menguranginya, lalu aku menyerahkannya kepada tukang kertas,, kemudian mereka memeriksanya. Maka tatkala mereka menemukan penambahan dan pengurangan di dalamnya serta-merta mereka melemparkannya dan tidak membelinya. Maka saat itu, aku mengetahui bahwa inilah kitab yang senantiasa dijaga. Maka demikianlah sebab keislamanku”. (Al Jaami’ li ahkaamil Qurân, Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi: 5/369)
Bukti lain tentang bentuk penjagaan kemurnian dan keotentikan Al Qurân adalah melalui hafalan para huffadz dan ulama robbaniyyin, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ‘azza wajalla :
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
“Sebenarnya Al Qurân itu adalah ayat-ayat yang nyata dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang dholim”. (QS. Al ‘ankabut: 49)
Kembali Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa maksudnya; Al Qurân ini adalah ayat-ayat yang jelas dan gamblang dalam petunjuk kepada kebenaran baik dalam perintah, larangan maupun kabar yang bisa dihafalkan oleh para ulama dengan kemudahan yang Allah berikan kepada mereka dalam menghafalnya, membacanya, dan tafsirnya…”. (Tafsir al Qurânul ‘Adzim, Imam Ibnu Katsir: 3/403)
Kemudian beliau melanjutkan keterangan tentang ayat ini dengan menukilkan hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shohihnya ;
وَقَالَ إِنَّمَا بَعَثْتُكَ لأَبْتَلِيَكَ وَأَبْتَلِىَ بِكَ وَأَنْزَلْتُ عَلَيْكَ كِتَابًا لاَ يَغْسِلُهُ الْمَاءُ تَقْرَؤُهُ نَائِمًا وَيَقْظَانَ
“Dan (Allah) berfirman: sesungguhnya Aku mengutusmu untuk mengujimu dan menguji (orang lain) denganmu dan Aku menurunkan kepada Al Kitab yang air tidak bisa mencucinya dan engkau membacanya dalam kondisi tidur dan bangun”. (HR. Muslim)
Kemudahan Al Qurân
Di antara karakteristik yang dimiliki oleh Al Qurân adalah kemudahan dalam mempelajarinya, membacanya, dan menghafalkannya. Di antara bukti-bukti yang menunjukkan hal itu adalah keseragaman bacaan yang bisa dibaca oleh khalayak manusia secara mendunia serta lintas suku dan bangsa. Dengan bahasa Al Qurân yang satu (bahasa Arab), ternyata menjadi salah satu faktor dominan pemersatu kaum muslimin.
Allah ‘azza wajalla telah menyebutkan janji-Nya dalam Al Qurân tentang kemudahan mempelajarinya, hingga diulang beberapa kali, yaitu dalam surat Al Qomar ayat 17, 22, 32 dan 40, Allah berfirman :
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sungguh telah Kami mudahkan Al Qurân untuk pelajaran, maka adakah yang mau mengambil pelajaran ?!”. (QS. Al Qomar: 17, 22, 32, 40)
Sejarah Islam juga telah mencatat betapa banyak para penghafal Al Qurân yang mereka mulai hafal sejak masa kecil mereka. Sebut saja di antara mereka adalah para imam empat madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Adalah sebuah tradisi keilmuan generasi salaf sholih, menjadikan Al Qurân sebagai materi pertama dan utama dalam belajar sebelum mempelajarai ilmu-ilmu lain.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Muhammad As Sadhan menceritakan dalam kitabnya Ma’alim fi thoriq tholabil ‘ilmi tentang seorang pemuda yang bernama Juraij. Ia hendak belajar ilmu tafsir bersama ulama besar di kalangan tabi’in yaitu Imam ‘Atha’ bin Saib. Lalu di saat yang bersamaan dalam majlis Imam ‘Atho’ ada seorang ‘alim yang bernama Abu ‘Umair, ia pun bertanya kepadanya; “Sudahkah engkau belajar Al Qurân (qiroah)? Juraij menjawab ; “belum”. Beliau berkata ; “pergilah engaku untuk belajar membaca Al Qurân terlebih dahulu kemudian barulah tuntulah ilmu!”. Inilah salah satu potret tentang betapa besarnya perhatian para ulama salaf tentang menjadikan qiroatul Qurân sebagai landasan ilmu.
Sudah selayaknya kaum muslimin bersyukur atas kemudahan yang Allah berikan dalam membacanya dan menghafal al Qurân. Tidak boleh pula bagi setiap individu muslim mensia-siakan kemudahan, wajib baginya untuk membekali diri dengan Al Qurân.
Dengan kemudahan dalam mempelajari dan menghafal Al Qurân ini, nampaknya telah menjadi hambatan tersendiri bagi kaum kuffar untuk mencoba mencabut akar Al Qurân dari diri kaum muslimin.
Relevansi Al Qurân
Al Qurân adalah sumber hukum bagi kaum muslimin. Menjadi kitab rujukan dalam setiap permasalahan hidup. Allah ‘azza wajalla berfirman :
قَدْ جَاءَكُمْ مِنَ اللَّهِ نُورٌ وَكِتَابٌ مُبِينٌ (15) يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلَامِ وَيُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِهِ وَيَهْدِيهِمْ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (16
“Sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengiktui keridhoaan-Nya ke jalan keselamatan dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”. (QS. Al Maidah : 15-16)
Karena kedudukan Al Qurân yang menjadi rujukan, sumber hukum dan petunjuk kepada jalan yang lurus, maka Al Qurân memiliki kontribusi besar dalam problem solving pada setiap zamannya. Hal tersebut telah nampak pada zaman Nabi shalallahu ‘alalihi wasallam dengan diturunkannya Al Qurân secara bertahap sebagai jawaban atau ketentuan hukum yang sesuai dengan tempat dan waktunya. Sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama bahwa Al Qurân diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alalihi wasallam secara bertahap selama 23 tahun. Sebagian diturunkan di Makkah dan sebagian lain diturunkan di Madinah. Di antara hikmah diturunkannya Al Qurân secara bertahap adalah :
- Peneguhan hati Rasulullah shalallahu ‘alalihi wasallam. Tak dipungkiri, bahwa kedengkian dan kebencian kaum kuffar begitu besar terhadap risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alalihi wasallam. Intimidasi dan arogansi telah ditampakkan oleh mereka dalam rangka menjatuhkan misi dakwah Islam. Tentunya dengan diturunkannya Al Qurân secara bertahap bisa menambah motivasi dan semangat juang di tengah arus jahiliyah yang deras. Kisah-kisah para Nabi dan Rosul sebelumnya menjadi ibroh dan peneguh hati yang jika mengingatnya, maka hatipun merasa tenang dan ringan untuk menghadapi beratnya tantangan.
- Sebagai bentuk tantangan untuk orang-orang kafir dan musyrikin sekaligus mukjizat. Orang-orang musyrik dan kuffar telah melampaui batas dalam mengingkari kebenaran Al Qurân. Sering mereka bertanya dengan tujuan menguji kebenarannya, seperti; pertanyaan mereka tentnag hari kiamat, pertanyaan tentang diseragakannya adzab dan pertanyaan lain yang diajukan bukan untuk diimani melainkan untuk dilecehkan. Namun Al Qurân senantiasa datang dengan jawaban yang haq. Sebagaimana yang difirman kan oleh Allah ‘azza wajalla:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Dan tidaklah mereka orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa sesuatu yang ganjil), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (QS. Al Furqon : 33)
- Kemudahan dalam menghafal dan memahaminya. Sungguh Al Qurân telah diturunkan kaum ummy yang tidak biasa dengan urusan tulis-menulis. Oleh karena itulah penerimaan Al Qurân dan periwayatannya pada awal masa Islam dengan jalan hafalan. Maka menjadi hikmah yang agung tatkala Al Qurân diturunkan secara bertahap agar mudah dihafal dan dipahami. Kalaulah diturunkan secara keseluruhan pastilah umat pada saat itu mengalami kesulitan dan kepayahan dalam menghafal dan memahaminya.
- Mengikuti perkembangan peristiwa dan kebertahapan dalam hukum syari’at. Kerusakan peradaban yang komplikatif pada zaman jahiliyah telah menjadikan sebagian orang putus asa, tak heran jika mereka sampai berbuat pekerjaan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat dan hati nurani, seperti membunuh anak perempuan, menikahi ibunya atau mewariskan istri untuk anaknya. Maka datanglah Islam dengan cahaya Al Qurân untuk mengobati keadaan tersebut dengan penuh hikmah. Permasalahan demi permasalahan diberikan solusinya dengan skala prioritas yang berebeda pada setiap kondisinya. Dari permasalahan terbesar seperti kesyirikan hingga masalah adab buruk telah dijelaskan melalui ayat-ayat yang turun secara bertahap. Tahapan-tahapan ini berguna untuk tarbiyah hati agar tidak terjadi gejolak yang derastis ketika menerima syari’.
- Sebagai bukti bahwa Al Qurân diturunkan oleh Rabb semesta alam. Sesungguhnya turunnya Al Qurân secara bertahap adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah ‘azza wajalla atas manusia. Kalau saja tiada bukti lain selain bukti ini, pastilah sudah cukup untuk membantah persangkaan bahwa Al Qurân adalah buatan Muhammad atau hasil pemikiran kebudayaan. Bagaimana tidak, setiap permasalahan yang muncul langsung dijawab oleh Allah ‘azza wajalla dengan kebenaran yang lugas dan tegas serta keindahan bahasa yang tiada bandingannya. Allah ‘azza wajalla telah menyatakan :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qurân? Kalau sekiranya Al Qurân itu bukan turun dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. An Nisaa’: 82)
Dari beberapa hikmah diturunkannya Al Qurân secara bertahap ini telah nampak kesesuaiannya dengan perkembangan zaman. Al Qurân telah menghimpun kaidah-kaidah umum yang bisa dipakai dan diaplikasikan dalam setiap kondisi dan situasi. Semua perintah, larangan, kabar gembira dan ancaman neraka serta kisah-kisah penuh hikmah telah menjadi pelajaran penting bagi manusia dalam menjalani hidup secara layak, nyaman dan damai.
Hakikatnya, perkembangan zaman tidak menuntut perubahan pada aspek esensi kehidupan itu sendiri. Sebenarnya perkembangan zaman terjadi pada aspek fasilitas hidup semata. Ketika kita menengok sisi hajat hidup manusia maka tidak banyak perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu, yang kesemuanya berkisar seputar kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan. Begitu pula kebutuhan manusia dalam sisi ruhani dan kejiawaan, hakikatnya mereka hanya menginginkan ketentraman dan kenyamanan hidup. Untuk itulah syari’at Islam dengan bersumber pada Al Qurân dan Hadîts nabawi memberikan kunci-kunci dasar dalam memenuhi kebutuhan secara baik dan benar. Oleh sebab itu Al Qurân memuat kaidah-kaidah permanen seperti keimanan dan keislaman yang tidak berubah sepanjang zaman dan tak lekang karena hasutan para penghasut. Walahu’alam bis shawab
Referensi:
- Al Jami’ li ahkaamil Qurân. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Al Anshori Al Qurthubi, Darul hadits, Kairo, cetakan tahun 1426 H
- Ma’alim fii thoriq tholabil ‘Ilmi, Syaikh DR. Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Abdulloh As Sadhan, Daarul ‘Ashimah, Kerajaan Saudi Arabia, cetakan ketiga, tahun 1420 H
- Mabahits fii uluumil Qurân, Syaikh Manna’ Kholil Qotthon, tt.
- Tafsir Al Qurânil ‘Adzim, Imam Abu Fida’ Ismail binKatsir, Daarul Jiil, Beirut, tt.