Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Islam

Akulturasi Budaya dalam Arsitektur Islam
Oleh: Ust. Adib Fattah, S.Pd.*

Arsitektur yang merupakan bagian dari budaya, selalu berkembang seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Islam yang turut membentuk  peradaban manusia juga memiliki budaya berarsitektur. Budaya arsitektur dalam Islam dimulai dengan dibangunnya Ka’bah oleh Nabi Adam as sebagai pusat beribadah umat manusia kepada Allah SWT. Ka’bah juga merupakan bangunan yang pertama kali didirikan di bumi. Tradisi ini dilanjutkan oleh Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Nabi Ismail AS. Mereka berdua memugar kembali bangunan Ka’bah. Setelah itu, Nabi Muhammad SAW melanjutkan misi pembangunan Ka’bah ini sebagai bangunan yang bertujuan sebagai tempat beribadah kepada Allah. Dari sinilah budaya arsitektur dalam Islam terus berkembang dan memiliki daya dorong yang belum pernah terjadi sebelumnya, serta mencapai arti secara fungsional dan simbolis.

Menurut Ismail Raji Al-Faruqi, arsitektur termasuk di dalam seni ruang dalam esensi seni menurut Islam. Hal ini dikarenakan arsitektur merupakan seni visual yang mendukung kemajuan peradaban Islam. Arsitektur yang di dalamnya terkandung seni ruang, juga didasarkan pada seni dalam pandangan al-Qur’an. Sehingga pembangunan fisik peradaban Islam senantiasa selalu berlandaskan nilai-nilai Islam dalam al-Qur’an, yang juga berfungsi sebagai landasan pembangunan peradaban yang tidak hanya membangun peradaban secara fisik, tetapi juga secara mental, pola pikir, semangat, akhlaq dan pola perilaku.

Oleh karena itu, ciri-ciri atau kaidah arsitektur Islam tentunya tidak terlepas dari tuntunan Al-Qur’an, kitab suci agama Islam. Di antara ciri-ciri dan kaidah dalam arsitektur Islam adalah biasanya unsur dekoratifnya banyak menggunakan seni kaligrafi atau ornamen yang mengingatkan kepada sang pencipta jagat raya, Allah, SWT. Selain itu juga melarang penggunaan simbol makhluk hidup yang bernyawa seperti gambar atau patung manusia maupun binatang. Pengaturan ruang-ruang ditujukan untuk mendukung menjaga ahlak dan prilaku. Selain itu posisi toilet tidak dibolehkan menghadap atau membelakangi kiblat. Keberadaan bangunan juga tidak boleh merugikan tetangga di sekitar. Dan yang tidak kalah penting adalah proses pembangunan sampai berdirinya bangunan seminimal mungkin tidak merusak alam.

Arsitektur Islam dalam kilas sejarah

Apabila diamati secara historis, perkembangan arsitektur Islam mulai berkembang seiring penyebaran wilayah selepas masa Rasulullah. Perkembangannya kian pesat setelah memasuki era dinasti di mana terjadi akulturasi budaya dalam peradaban Islam antara Arab, Persia, Romawi, dan juga Mesir.

Contoh awal yang paling populer misalnya masjid Kubah Batu (Dome of The Rock/ Masjid Qubbah as Sakhrah),  terletak di Temple Mount (atau Gunung Moria) Jerusalem. Diperkirakan dibangun pada 688 – 691 M oleh Kalifah Umayyah Abdul Malik bin Marwan, gaya arsitek yang mencolok dari bangunan ini misalnya ruang tengah yang luas dan terbuka, bangunan yang melingkar, dan penggunaan pola kaligrafi yang berulang. Tercatat bahwa bangunan ini adalah yang pertama kali memakai kubah. Sedangkan Masjid Raya Samarra di Irak yang dibangun oleh khalifah Bani Abbasiyah, Al-Mutawakkil ,  berciri khas dengan adanya minaret/ menara masjid.  Ada juga masjid yang sangat terkenal, yaitu Hagia Sophia di Istanbul, Turki yang turut memengaruhi corak arsitektur Islam. Ketika Muhammad Al-fatih dari Dinasti Utsmani merebut Istanbul dari kekaisaran Byzantium, mereka mengubah sebuah basilika menjadi masjid (yang kemudian dialih fungsikan menjadi museum dan sekarang menjadi masjid kembali) yang akhirnya muslim pun mengambil sebagian dari kebudayaan Byzantium kedalam kekayaan peradaban Islam.

Syiar Islam dalam arsitektur bangunan di Nusantara

Gaya arsitektur yang menggunakan beberapa ornamen seperti kubah, menara, ukiran-ukiran dan lain sebagainya ini kemudian menjadi identik dengan corak arsitektur dalam peradaban Islam di berbagai penjuru dunia termasuk di Nusantara. Hal ini bisa kita lihat di sejumlah masjid yang memperlihatkan kekhasan arsitektur, seperti masjid agung (raya) yang didirikan di ibu kota-ibu kota kerajaan, seperti di Demak, Banten, Cirebon, Banda Aceh, Yogyakarta, Surakarta, dan Sumenep.

Namun terkadang terdapat pula kekhasan arsitektur yang hanya ada di suatu daerah dan berbeda dengan daerah-daerah lain. Seperti kekhasan arsitektur yang ada di beberapa tempat di Nusantara. Di antaranya adalah Punden berundak, yang merupakan ciri khas yang selalu melekat pada masjid-masjid yang dibangun pada masa kerajaan. Bagian punden berundak atau teras berundak pada masjid sering tidak disadari maknanya dan dianggap sebagai tangga bertingkat biasa sehingga keberadaannya diabaikan begitu saja. Padahal, jika ditelusuri, ciri khas ini memiliki akulturasi antara zaman Megalitikum dan proses Islamisasi di Indonesia. Punden, yang berasal dari bahasa Jawa yang artinya objek-objek pemujaan, sementara pada masyarakat Sunda artinya pihak yang dipuja. Makna filosofisnya, keberadaan tangga itu simbol media yang mengantarkan seseorang kepada Allah SWT melalui shalat lima waktu.

Selain itu ada juga Atap Berundak. Pada masa kebudayaan Indonesia Hindu-Buddha, bentuk atap bertingkat ini disebut meru yang dianggap sebagai bangunan suci tempat para dewa. Penggunaan atap berundak pada sebuah masjid, di masa awal Islamisasi, justru menimbulkan daya tarik tersendiri bagi pemeluk Buddha dan Hindu. Akulturasi yang muncul pada masjid tersebut tidak menimbulkan kekagetan budaya atau cultural shock. Faktor penting lain dari segi teknik yang disesuaikan dengan ekologi bawah atap berundak ini memudahkan air meluncur ke bawah apabila hujan sekaligus sebagai ventilasi yang dapat memasukkan udara dingin ke dalam masjid apabila panas.

Ciri khas lain dari masjid kuno yang dibangun pada masa peralihan Hindu-Buddha ke Islam selalu dibangun di dekat rumah raja atau alun-alun yang kini keberadaannya selalu terintegrasi dengan wilayah lain di tengah kota. Banyak pesan masjid dibangun di kompleks permukiman kerajaan, salah satunya untuk menunjukkan bahwa penguasa setempat beragama Islam. Pada masa pra-kolonial atau zaman kerajaan, alun-alun wajib dimiliki oleh suatu kerajaan sebagai tempat sakral bertemunya rakyat dengan raja selain sebagai tempat upacara. Ketika agama Islam masuk ke Nusantara, alun-alun keberadaannya mengalami penyesuaian kebudayaan. Hampir semua kerajaan Islam di sebelah barat alun-alunnya dibangunkan masjid. Selain untuk ritual suci keagamaan, masjid juga digunakan sebagai tempat pertunjukan seni bernuansa agamis.

Dari pemaparan di atas dapat dipahami, bahwa perkembangan arsitektur dalam peradaban Islam terus terjadi dari masa ke masa. Islam sendiri terlihat bersikap terbuka terhadap budaya lain, bahkan justru berakulturasi dengan budaya lain sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat lokal. Arsitektur dalam Islam tidak hanya bernilai seni, akan tetapi juga mengandung makna filosofis yang menekankan nilai moral dan ibadah.

[Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darussalam Gontor]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *