AKHIR HIDUP PENCACI ULAMA’

Diriwayatkan bahwa dahulu abad ke 8 Hijriah di kota Raimah Yaman terdapat seorang Ahli Fiqih Syafi’i masyhur dan sangat Alim bahkan beliau sampai diangkat menjadi Qodhi Qudhot (Hakimnya para hakim) oleh penguasa dinasti Rasuli, Nama beliau Jamaluddin Muhammad bin Abdullah Al Hatsitsi Ar Roimi As Syafi’i.

Beliau punya sebuah karya berjudul “At Tafqih” syarah terhadap kitab At Tanbih karya Syekh Abi Ishaq Assyairazi, yang tebalnya mencapai 24 jilid.

Komentar analisisnya sangat luar biasa, retorikanya juga sangat tahqiq dan mendalam, Namun yang disayangkan dalam kitab tersebut narasi kritik yang ditujukan terhadap IMAM AN-NAWAWI dan frasa-frasa yang digunakan dalam kitab At-Tafqih terlalu sarkastik dan merendahkan, bahkan Ibnu Hajar yang pernah memperhatikan pembacaan kitab At-Tafqih tak sanggup mendengarkan sampai selesai..

Ibnu Hajar Al Haitami dalam karya beliau Al Ijazah Al Balighah (Hlm 626) mengkisahkan peristiwa akhir hayat dari Ar Roimi ini akibat tulisannya atas Imam Nawawi:

أريد أن يقرأ علي بعض مباحث الريمي مع النووى فسمعت منه في انتقاص النووى ما تمجه الأسماع فقلت للقارئ أمسك عن قراءة هذه المهملات التي هي مجرد سب للعلماء من غير موجب له البتة ولا حامل عليه إلا مجرد سخافة العقل المؤدية إلى غاية الشقاوة ولما حصل منه ذلك في شرحه على التنبيه وغيره ذلك استمر عليه إلى أن مات فسجي بثوب إلى أن يشترى له مؤن التجهيز فبينما الناس محتاطون به قد كثر أسفهم عليه لأنه كان له في الفقه اليد الطولى وإذا هر كبير جدا يشق صفوف الناس إلى أن وصل إليه فإذا فمه مفتوح فأدخل رأسه في فمه وتناول لسانه فاقتلعه من أصله ثم عاد منقلبا و اللسان في فمه فخرق تلك الصفوف كما خرقها أولا والناس ينظرون إليه أولا وثانيا فلم يستطع أحد منهم زجره بكلمة ولا التعرض لأخذ اللسان منه وإنما حصل لهم نحو ركود حواس و شخوص البصر و تعطيل القوى الباطنة والظاهرة فعلم الفقهاء الذين اطلعوا علي شرحه أن هذا من بركة النووى واستمر شيوع ذلك.

“Suatu ketika aku ingin dibacakan sebagian komentar Ar Roimi kepada An Nawawi lalu sampai lah aku pada bagian yang isinya merendahkan Imam Nawawi, kata-katanya sangat tidak ingin didengar telinga sehingga aku berkata kepada pembaca “cukup jangan diteruskan komentar yang merendahkan ini, isinya hanya mencaci ulama’ tanpa ada hubungannya sama sekali dengan ilmu, hal seperti ini lahir dari kelemahan akal (kebodohan) yang akan membawa pada kerasnya hati”.

Ar Roimi setelah menulis ini dan tak merevisinya hingga meninggal disebutkan saat wafat jasadnya direbahkan di atas kain kafan yang hanya sehelai (karena faqirnya ia di akhir hayat) sampai perlengkapan jenazahnya saja harus dibelikan orang lain, orang-orang berkumpul mengelilinginya melihat dengan kasihan kondisi sang Faqih di akhir hayat karena mengingat masa hidupnya punya pengaruh hebat di bidang fiqih, lalu tiba-tiba datang seekor kucing besar membelah kerumunan melewati orang-orang dan mendatangi jasadnya yang terbujur kaku, seketika itu pula mulut Ar-Roimi terbuka dengan sendirinya lalu kucing itu menggigit lidah beliau hingga putus dan membawanya pergi, anehnya orang-orang yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa tertegun dan tak mampu berbuat apa-apa, mata mereka terbelalak dan lidah mereka menjadi kaku tak mampu mengusir kucing yang ada di hadapannya apalagi menyelamatkan lidah sang Faqih, ulama yang sempat hadir dan menyaksikan insiden itu menyadari bahwa hal itu adalah salah satu berkah yang dimiliki Imam Nawawi dan hal ini kemudian terus tersebar” (Al Ijazah Al Balighah)

Kisah di atas disebutkan pula secara ringkas oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Inbaul Ghumar dengan tambahan bahwa lidah tersebut sebelum dimakan kucing telah menghitam terlebih dahulu sesaat setelah wafatnya Ar Roimi.

Qultu: Dari kisah ini setidaknya dapat diambil pelajaran bahwa berbeda pendapat dengan Ulama’ boleh saja tapi jangan sampai menghinakan serta merendahkan martabatnya dengan berkomentar yang jauh dari ranah keilmuan apalagi sampai komentar fisik, hal di atas saja bisa berlaku padahal penghinanya seorang Ulama’ Ahli Fiqih juga apalagi kalau penghinanya bukan apa-apa. Maka saya do’akan kepada beliau di gambar ini mudah-mudahan dapat hidayah sebelum ajal menjemput.

Wallahua’lam.

Oleh: muhamad salim kholili

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *