Ahmad bin Nashr Al Khuza’i, Prototipe Pembela Al-Quran

Ahmad bin Nashr Al Khuza’i, Prototipe Pembela Al-Quran

Fitnah tentang Al-Quran makhluk (Kholqu Al-Qur’an) tercatat dalam sejarah sebagai satu peristiwa yang menimbulkan musibah yang begitu besar bagi kaum muslimin, terutama para ulama. Fitnah yang berlangsung selama masa pemerintahan tiga khalifah ini, disebabkan adanya hembusan yang dilancarkan oleh orang-orang Muktazilah untuk mempengaruhi Khalifah Abbasiyah saat itu. Dampaknya, khalifah pun berinisiatif untuk menyebarkan doktrin menyimpang ini ke seantero wilayah kekuasannya.

Anggapan bahwa Al-Qur’an makhluk adalah satu bentuk penistaan secara tidak langsung. Al-Qur’an adalah kalamullah, sedangkan kalam adalah salah satu dari sifat-sifat-Nya yang sempurna. Bagaimana mungkin sifat Allah dikatakan makhluk, padahal Al-Quran adalah kalam Allah, dan kalam Allah adalah sifat Allah dan sifat Allah tidak mungkin makhluk. Sifat dan jati diri sesuatu adalah satu kesatuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Artinya bila kalam adalah sifat yang dimiliki Allah, maka itu juga bagian dari dzat-Nya. Tidak boleh mengatakan sifat Allah adalah makhluk.

 

Pembelaan Terhadap Kesucian Al-Qur’an

Banyak tokoh dari kalangan ulama dan ahli hadits yang diuji dengan fitnah tersebut. Siapa pun yang berani menentang bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, akan diklaim sebagai orang sesat dan dijanjikan hukuman yang berat bahkan kematian. Dalam kondisi yang demikian genting, tak sedikit yang kemudian memilih untuk berpura-pura mengiyakan (tauriyah) seruan yang digaungkan oleh sang khalifah. Namun, masih ada beberapa ulama yang bersikeras tetap teguh untuk menolaknya dan mengatakan Al-Qur’an bukanlah makhluk. Sehingga, karena penentangan tersebut lah mereka mendapat cobaan yang begitu berat bahkan ada yang harus meregang nyawa.

Pada masa Al-Watsqiq billah, khalifah Abbasiyah yang terpengaruh oleh fitnah ini, tersebutlah seorang ulama ahli hadits yang harus meregang nyawa karena membela kesucian Al-Qur’an dan menentang doktrin menyimpang Kholqu Al-Qur’an ini. Ahmad bin Nashir bin Malik bin Haitsam al-Khuza’i, ialah sosok seorang ulama yang memilik aura kewibawaan dan kepemimpinan yang tinggi. Beliau ditangkap karena berupaya menghasung sejumlah orang untuk menggulingkan pemerintahan Al-Watsiq dan berniat menentang doktrin Kholqu Al-Qur’an.

Tatkala beliau didatangkan dihadapan sang khalifah, ternyata dakwaan mengenai aktivitas yang dilakukannya justru tidak dipersoalkan. Al-Watsiq malah menanyakan kepadanya dan menguji dirinya masalah Kholqu Al-Qur’an ini.

“Apa pendapatmu tentang Al-Quran (ini)?” kata sang khalifah.

“Ia adalah kalamullah (firman Allah)!” jawab Ahmad bin Nashir.

“Apakah menurutmu Al-Quran itu makhluk?” sambung khalifah lagi.

“Ia adalah kalamullah” tegas Ahmad bin Nashir.

Kemudian beliau juga ditanya lagi dengan beberapa pertanyaan mengenai apakah Allah benar-benar bisa dilihat pada hari kiamat kelak. Beliau kembali menjawab dengan melontarkan bukti yang bersumber dari Al-Quran dan hadits Nabi mengenai kebenaran perkara itu. Bahkan, beliau memberikan bukti-bukti lain yang tentu saja memicu kemarahan khalifah. Hari itu, beliau telah siap mengorbankan nyawanya demi memperjuangkan dan memelihara kesucian Al-Qur’an.

 

Pengorbanan Sang Pembela

Mendengar semua jawaban yang dilontarkan oleh Ahmad bin Nashir, kontan saja khalifah geram dan murka. Dia berkata, ” Celaka kamu! Apakah Allah akan terlihat sebagaimana terlihatnya makhluk yang serba terbatas dan Allah juga menempati satu tempat, serta bisa dipandang oleh orang yang melihat. Sesungguhnya saya tidak akan percaya kepada Tuhan yang memiliki sifat-sifat demikian.”

Orang-orang Muktazilah yang hadir di tempat itu mulai menghasut khalifah Al-Watsiq untuk membunuh Ahmad bin Nashir. Ketika dimintai pendapat, mereka sepakat mengatakan bahwa darah ulama ini telah halal. Akhirnya, khalifah pun segera menyuruh pengawalnya untuk segera memenggal kepala ulama ahli hadits ini.

Al-Watsiq berkata, “Jika aku berdiri menuju kepadanya (Ahmad bin Nashr), maka janganlah ada diantara kalian yang berdiri. Sebab, aku akan menghitung langkahku menuju orang kafir yang menyembah Tuhan yang tidak kami sembah dan tidak kami ketahui sifat-Nya ini.”

Akhirnya Ahmad bin Nashr pun menemui ajalnya. Kepalanya di penggal hingga putus dan dibawa ke Baghdad, sedangkan jasadnya disalib di kota Samarra. Pada saat disalib, Al-Watsiq menulis pada selembar kertas yang dia gantungkan di telingan Ahmad. Tulisan itu berbunyi, “ Ini adalah kepala orang kafir musyrik lagi sesat yang bernama Ahmad bin Nashr, dia telah melakukan pembangkangan, maka Allah menyiksanya dengan neraka lebih awal!” Konon, jasadnya dibiarkan tersalib selama enam tahun dan baru diturunkan pada masa khalifah setelahnya.

 

Akhir Yang Indah Bagi Pembela Kitab-Nya

Ja’far bin Muhammad As-Shaigh berkata, “Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dan mendengar dengan kedua telingaku bahwa Ahmad bin nashir Al-Khuza’i ketika kepalanya dipenggal dari lisannya terucap, “laa ilaaha illallah” (tiada Tuhan selain Allah). Begitu juga ketika beliau disalib, beberapa orang mendengar dari lisannya,

الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2

“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (al-Ankabut: 1-2).

Sebagian yang lain bahkan melihat beliau berada dalam mimpinya. “Apa yang sudah diperbuat Rabbmu terhadap dirimu?” Ahmad bin Nashir menjawab, “Tidak ada yang dilakukan oleh-Nya selain membuatku tertidur ringan sampai aku bertemu dengan Allah SWT dan Dia tertawa kepadaku.”

Ada juga yang dalam mimpinya melihat Rasulullah sedang bersama-sama dengan Abu Bakar dan Umar ra. Tatkala mereka melewati tiang yang tertancap kepala Ahmad bin Nashir di atasnya, Rasulullah tiba-tiba memalingkan muka beliau yang mulia darinya. Ketika ditanya, “Ya Rasulullah, kenapa engkau memalingkan wajah dari Ahmad bin Nashr? Beliau menjawab, “Aku memalingkan muka dari padanya lantaran aku malu dengannya disebabkan orang yang telah membunuhnya mengaku sebagai bagian dari ahli baitku.”

Inilah Ahmad bin Nashir, seorang ulama pemberani yang teguh mempertahankan kesucian Al-Qur’an meskipun harus mengorbankan nyawanya sekalipun. Imam Ahmad berkata tentangnya, “Barangsiapa yang mendermakan dirinya untuk Allah, sungguh ia benar-benar telah merelakan jiwanya untuk-Nya.”

Ketika terjadi fitnah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk saja para ulama rela berkorban untuk membelanya, tentu hari ini saat orang-orang kafir ikut-ikutan menghujat, kita lebih layak untuk marah dan membela. Karena, pada zaman itu kebanyakan dari mereka yang berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah makhluk tidak berniat untuk menghinanya bahkan bermaksud mensucikannya. Semua pemahaman tersebut lantaran salah dalam menafsirkan ayat,

إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (3

“Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti.” (QS. az-Zukhruf: 3).

Mereka mengambil kesimpulan bahwa kata جَعَلْنَاهُ dalam ayat tersebut menegaskan bahwa Allah yang menciptakan Al-Qur’an, dan setiap yang Dia ciptakan merupakan makhluk-Nya.

 

Perbedaan Fitnah Khalqu Al-Qur’an dan Fenomena Pelecehan Hari Ini

Fitnah khalqu Al-Qur’an terjadi lantaran manusia ketika itu sangat menjunjung kehormatannya, namun karena adanya syubhat yang sangat khafi (samar) mereka terjatuh kepada kesalahan fatal tersebut. Berbeda dengan fenomena yang kita jumpai hari ini, para penghina Al-Qur’an bisa dipastikan niat mereka adalah merendahkan kitab suci umat Islam. Lantas mengapa kita tidak boleh marah kepada mereka yang jelas-jelas sengaja menghina? Bukankah para salaf juga marah serta berkorban untuk membelanya meskipun ketika itu yang berkata ‘nyleneh’ tentang Al-Qur’an tak ada maksud menghina?

Jika ada yang berpendapat bahwa dahulu pada zaman Rasulullah, Al-Qur’an juga dihina tetapi Rasulullah diam dan tak melawan serta lebih memilih untuk memaafkan, maka pendapat tersebut pasti berasal dari mereka yang tak kenal sejarah. Benar ketika itu Rasulullah tidak menghukum atau memerangi mereka yang menghina Al-Qur’an maupun Islam, namun semua itu terjadi di fase Mekah. Dimana ketika itu ayat tentang jihad belum turun. Berbeda dengan fase Madinah, mereka yang menghujat Islam akan mendapat hukuman.

Semoga kaum muslimin tetap dalam semangatnya untuk membela kitab sucinya, baik sang pencela dari barisan kaum kafir atau berasal dari shaf umat Islam itu sendiri. Wallahu a’lam.

Sumber: kiblat.net Penulis : Mudzaffar dari Yanisari Team

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *