Agar Iman Tak Mudah Pudar

Agar Iman Tak Mudah Pudar

Oleh: Abu Athif, Lc –غفر الله له ولواديه-

Bagi seorang mukmin, tentunya tidak ada yang paling berharga dalam hidupnya melebihi nikmat iman dan islam yang Allah anugerahkan kepadanya. Kenikmatan yang tak akan bisa ditandingi dengan kemolekan dan keindahan dunia seisinya. Kenikmatan yang tak akan bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kenikmatan yang tetap terasa manis meskipun dalam kondisi pahit dan sempit.

Sebagai sebuah renungan tentang betapa mahal dan berharganya iman, kita bisa memperhatikan bagaimana kondisi orang kafir yang hendak menyelamatkan diri dari belenggu siksa neraka. Tidak ada suatu keinginan pun melainkan upaya keras untuk menebus diri dengan apa yang dia miliki meskipun harus membayar dengan emas seberat bumi. Namun ujung dari itu semua adalah kesia-siaan dan kemustahilan belaka. Allah –Jalla Tsanâuh- berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَى بِهِ أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam kondisi kafir maka tidak akan diterima (tebusan) dari seseorang di antara mereka sekalipun emas sepenuh bumi, sekiranya dia hendak menebus diri dengannya. Mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang pedih dan tidak memperoleh penolong”. [QS. Ali Imron; 91]

Di tengah kerusakan akhir zaman seperti saat sekarang ini, menjaga iman haruslah menjadi fokus utama. Merasa diri aman dari rusak dan pudarnya iman adalah musibah besar yang menjadikan setan dan bala tentaranya lebih leluasa menguasai jiwa seorang hamba. Sekaligus menjadi pertanda tidak ada perhatian dalam dirinya untuk merawat dan menjaga iman.

Ancaman akan kemungkinan pudarnya iman dari hati kaum muslimin telah dikabarkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melalui sabdanya:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ “

Artinya: Dari Abu Umamah al Bahili dari Rosulullah -shollallohu ‘alaihi wa sallam- beliau bersabda: “Niscaya akan pudar ikatan-ikatan islam ini seutas demi seutas. Setiap kali terurai satu ikatan pastilah manusia akan berpegangan dengan ikatan yang berikutnya. Perkara pertama yang terlepas ikatannya adalah hukum (berhukum dengan hukum Allah.red) dan yang terakhir adalah (terlepasnya ikatan) sholat”. [HR. Ahmad, al Hakim, al Thobroni dan Ibnu Hibban]

Tersurat dan tersirat dalam hadits tersebut informasi futuristik yang terjadi sepeninggal Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Informasi penting yang memberitahukan kepada kita tentang upaya-upaya keras dari para pembenci syariat Islam (kaum kuffar) untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin secara keseluruhan dengan tahapan sistematis. Serangan mereka difokuskan menyasar pada simpul utama kekuatan kaum muslimin yaitu menghilangkan penegakan hukum Allah dari mulai skala kecil berupa menghilangkan komitmen bersyariat dari setiap individu muslim hingga skala lebih besar meruntuhkan payung lembaga hukum berupa daulah Islamiyah ataupun khilafah Islamiyah.

Bagi hamba beriman, hari-hari ini menjadi pembuktian dari kebenaran sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tersebut. Rencana dan strategi kafir telah dijalankan demi menghilangkan dan memudarkan iman. Dari pola yang halus hingga pola yang paling kasar dan sadis pun dilancarkan oleh mereka. Serangkaian fakta dan data sejarah menyuguhkan keseriusan mereka memerangi Islam dan kaum muslimin. Mulai dari disebarkannya budaya permisif di tengah peradaban Islam hingga pembantaian sadis terhadap kaum muslimin yang terjadi di Andalusia, Palestina hingga belahan bumi lainnya yang mayoritas warganya adalah muslim. Menyusul kemudian diruntuhkannya khilafah islamiyah di tahun 1924 M. Tak berhenti sampai di sini saja, serangkaian tindakan brutal dan arogan pun mereka lancarkan. Mulai dari penembakan kaum muslimin di masjid-masjid Palestina hingga penghalangan sholat idul fitri di Tolikara.

Fenomena hari ini seharusnya membuat setiap hamba beriman semakin sadar bahwa tidaklah terjadi itu semua melainkan karena kebencian dan kedengkian kaum kafirin terhadap keimanan dan keislaman. Sebagaimana firman Allah yang mengkisahkan ashabul ukhdud (Para penggali Parit) :

وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

Artinya: “Dan mereka menyiksa orang-orang mukmin itu hanya karena mereka beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. [QS. Al Buruj: 8]

Dari sini kita bisa memahami bahwa kebaikan dan kesholihan kita dengan iman dan islam ternyata mengundang sebuah “resiko” yaitu dimusuhi dan dibenci oleh iblis dan bala tentaranya dari kalangan kaum kafir. Oleh sebab itulah, mereka sangat bernafsu mencerabut setiap ikatan iman yang ada di dada seorang hamba.

Lalu bagaimana seorang hamba harus berbuat untuk menjaga dan merawat imannya? Sudah menjadi kebaikan dari syariat Islam yang mulia ini untuk hadir dengan solusi pada setiap zamannya. Tidaklah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memberikan informasi tentang petaka dan ujian di akhir zaman melainkan beliau pun juga menyebutkan nasihat dan solusi demi menghadapinya. Dalam tulisan singkat ini, setidaknya ada lima hal yang harus dipegang oleh setiap muslim dalam menghadapi ancaman pudarnya iman di akhir zaman.

Pertama, senantiasa menumbuhkan rasa kecintaan dan kebencian karena Allah (al wala’ bal baro’). Perkara penting yang menjadi simpul terkuat untuk menghadapi petaka dan ujian di setiap zaman dan tempatnya. Hal ini disebutkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sabdanya:

إِنَّ أَوْثَقَ عُرَى الْإِيمَانِ أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ، وَتُبْغِضَ فِي الله

Artinya: “Sesungguhnya ikatan iman yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah”. [HR. Ahmad, Al Hakim, dan Al Thobroni]

Dengan ikatan ini seorang hamba akan selalu mempertimbangkan segala amalan dan aktivitasnya dengan neraca kecintaan karena Allah dan kebencian karena-Nya. Dirinya akan selalu bersikap dengan apa yang telah Allah tetapkan. Dia akan berusaha mencintai apa dan siapa saja yang dicintai oleh Allah ta’ala. Begitu pula dengan masalah kebencian akan diletakkan oleh seorang hamba terhadap apa dan siapa saja yang dibenci oleh Allah –‘azza wa jalla-.

Kedua, berpegang teguh dengan Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Mengikatkan diri dengan berpegang teguh kepada apa saja yang datang dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- adalah konsekuensi iman. Sebagaimana perintah Allah ta’ala :

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya: “…Dan apa saja yang datang kepada kalian dari Rosul maka ambillah dan apa saja yang Rosul mellarang kalian maka jauhilah. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pedih hukuman-Nya”. [QS. Al Hasyr: 7]

Sikap berpegang teguh dengan kitabulloh dan sunnah Rosululloh akan tampak dalam perilaku seorang hamba ketika dirinya selalu menimbang dan memandang suatu perkara dengan timbangan dan pandangan dua sumber hukum tersebut. Menjadi satu kesatuan yang integral dalam hal ini adalah meneladani para ulama robbani (yang mendapatkan petunjuk dan mengajarkannya). Karena hanya merekalah yang menjadi panutan dan teladan setelah sepeninggalnya Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.

Para ulama adalah pewaris para Nabi seperti yang disebutkan dalam hadits nabi: “…sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka (para nabi) mewariskan ilmu, barang siapa yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak…” [HR. Bukhori]. Tanpa pejelasan dan keteladanan dari mereka, niscaya manusia pada umumnya akan mudah tergelincir dalam kesesatan.

Slogan kembali kepada Kitabulloh dan Sunnah Rosululloh belumlah cukup untuk menjadikan umat ini terbimbing dengan ilmu. Oleh sebab itu, sosok ulama robbani memiliki peranan kunci dalam kaifiyah (tata cara) berpegang teguh dengan dua sumber hukum tersebut. Sekaligus sebagai panglima dalam penerapan syariat Islam.

Ketiga, melazimi syariat Allah sesuai kemampuan. Perkara ini menjadi simpul penting dalam keimanan seorang hamba. Bersikap komitmen dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah –‘azza wa jalla– bukti ketaqwaan sebenarnya. Allah berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: “Maka bertaqwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian, dan dengarlah, taatlah serta infaqkanlah harta yang baik untuk diri kalian, dan barang siapa yang terjaga dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. [QS. At Taghobun: 16]

Umar bin Khottob –rodhiyallohu ‘anhu- pernah berkata: “ikatan-ikatan iman ada empat perkara: Sholat, zakat, jihad dan amanah”.[Al Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, 6/157]

Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sangat menganjurkan untuk melazimi setiap amalan dan jangan ditinggalkan.

يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

Artinya: “Wahai hamba Allah janganlah engkau menjadi seperti fulan yang dahulu dia mengerjakan qiyamul lail (sholat di waktu malam) kemudian dia meninggalkan qiyamul lail”. [HR. Bukhori]

Dengan melazimi syariat Allah maka ikatan iman akan semakin menguat. Karena bertambahnya iman karena menjalankan ketaatan dan pudarnya iman karena melakukan kemaksiatan.

Baca Juga : https://himayahfoundation.com/waspadai-ngedrop-iman-pasca-ramadhan/

Keempat, menjauhi perbuatan maksiat. Perbuatan maksiat adalah segala tindakan yang melanggar syariat Allah dan menyelisihi sunnah Rosululloh. Melakukan perbuatan maksiat menjadi penyebab utama pudarnya ikatan iman. Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mempertegas masalah ini melalui sabdanya:

لَا يَزْنِي الزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِينَ يَشْرَبُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُ حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَنْتَهِبُ نُهْبَةً يَرْفَعُ النَّاسُ إِلَيْهِ فِيهَا أَبْصَارَهُمْ حِينَ يَنْتَهِبُهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ

Artinya: “Tidaklah beriman seseorang ketika dia berzina, dan tidak pula sebagai orang mukmin ketika dia minum khomer, dan tidak pula sebagai orang mukmin ketika dia mencuri, tidak pula dia seorang mukmin ketika merampas barang berharga di mana mata manusia hanya bisa terbelalak melihatnya”. [HR. Bukhori]

Jikalau ditelisik lebih jauh, sebab awal mula terjadinya pelanggaran syariat adalah kejahilan tentang perkara-perkara halal-haram dan jahiliyyah. Hal ini disampaikan oleh sahabat yang mulia Umar bin Khottob –rodhiyallohu ‘anhu-: “…Sesungghnya ikatan Islam akan terurai seutas demi seutas apabila muncul dalam Islam orang yang tidak mengetahui perkara jahiliah”. [Minhajus Sunnah Nabawiyah: 4/ 590]

Dengan kejahilan dalam masalah ini, seseorang tidak lagi merasa dirinya berbuat kemaksiatan. Inilah pangkal pudarnya iman seorang hamba.

Kelima, berkawan dan bergabung dengan komunitas dakwah dan jihad. Mencari teman seperjuangan adalah wasilah ampuh yang terbukti bisa menjaga iman seorang hamba. Tidak mengherankan jika ada ungkapan bahwa saudara seiman lebih kuat ikatannya dibandingkan dengan saudara senasab, karena saudara senasab bisa jadi terputus karena perbedaan iman sementara saudara seiman tidak akan tarputus hanya karena perbedaan nasab.

Imam Hasan al Bashri –rohimahulloh– pernah berkata: “Saudara-saudara seiman kami lebih kami cintai dari pada keluarga-keluarga dan anak-anak kami. Karena keluarga kami seringnya mengingatkan kami dalam urusan dunia sementara saudara-saudara kami seiman mengingatkan kami tentang urusan akhirat”.[Qût al Qulub fî mu’âmalat al Mahbub: 2/367]

Kondisi kesendirian menjadi celah bagi setan untuk menguasai seorang hamba. Karena keadaan sendiri menjadikan seorang hamba bisa lalai dari orientasi kehidupan sebenarnya. Tidak lagi memiliki ghiroh untuk iqomatuddin (menegakkan agama Allah). Tidak lagi merasakan kehangatan berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama. Tidak lagi merasakan pahit dan getirnya perjuangan –yang sebenarnya menjadi bagian dari manisnya iman-. Seringnya yang terjadi adalah semakin kentalnya sikap individualis dan apatis.

Keterlibatan seorang hamba dalam komunitas dakwah dan jihad akan memperjelas sikap keberpihakan. Perkara penting ini disinggung oleh Allah ta’ala melalui firmannya:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian kepada Allah dan jadikanlah kalian bersama orang-orang yang jujur”. [QS. At Taubah: 119]

Imam al Qurthubi –rohimahulloh– menukil sebuah pendapat tentang penjelasan ayat yang mulia ini. Pendapat tersebut menyatakan bahwa seruan ayat ini ditujukan kepada seluruh kaum mukminin untuk takut dalam menyelisihi perintah Allah dan hendaklah mereka menjadi bagian dari golongan orang-orang yang jujur keimanannya yaitu orang-orang yang keluar bersama Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- (dalam perang Tabuk) dan janganlah menjadi bagian dari golongan kaum munafik. [Tafsir Al Qurthubi: 8/599-600]

Di samping itu, dengan keterlibatan dalam aktivitas islam bisa lebih menghayati makna kehidupan ini sebagai medan perjuangan dan ladang kebaikan. Ujung dari kebersamaan dengan komunitas dakwah dan jihad adalah dipertemukannya kembali di surga firdaus milik Allah –‘azza wa jalla-. Karena seorang hamba telah membuktikan keberpihakkannya bersama golongan yang dicintai oleh Allah ta’ala. Sebagaimana sabda Nabi tercinta -shollallohu ‘alaihi wa sallam- : “seseorang akan dikumpulkan bersama orang yang dia cintai”, [HR. Bukhori dan Muslim].

Demikianlah lima perkara yang bisa menolong seorang hamba agar iman tak mudah pudar. Hanya kepada Allah kita memohon dan bermunjat agar dikuatkanlah iman dan islam kita hingga akhir hayat nanti. Sholawat teriring salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- beserta keluarga, sahabatnya dan seluruh pengikutnya hingga hari akhir nanti. Wallohu a’lam bis showab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *