Syarh Aqidah ath-thahawiyah ke: 39-40
فَإِنَّهُ مَا سَلِمَ فِي دِينِهِ إِلاَّ مَنْ سَلَّمَ لِلَّهِ تَعَالى وَلِرَسُولِهِ صلى الله عليه وسلم وَرَدَّ عِلْمَ مَا اشْتَبَهَ عَلَيْهِ إِلَى عَالِمِهِ
وَلا يَثْبُتُ قَدَمُ الإِسْلامِ إِلاَّ عَلَى ظَهْرِ التَّسْليمِ وَالاسْتِسْلامِ
(39) Sesungguhnya yang selamat agamanya hanyalah orang yang pasrah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan mengembalikan ilmu dari sesuatu yang belum jelas baginya kepada orang yang mengetahuainya.
(40) Sesungguhnya Islam hanyalah berpijak di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan.
Dengan dua matan ini Imam Abu Ja’far ath-Thahawiy menegaskan bahwa keIslaman seseorang tidak akan benar meskipun dia mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah kecuali jika di hatinya ada taslim dan kesanggupan untuk berittiba’ kepada Rasulullah SAW. Sejatinya taslim adalah manifestasi syahadat tauhidnya. Syahadat untuk hanya tunduk, taat, dan patuh beribadah kepada Allah saja. Sedangkan ittiba’ sejatinya adalah manifestasi syahadat risalahnya. Syahadat untuk hanya mengikuti ajaran Rasulullah saw tanpa menimbang-nimbang lagi dengan akal atau perasaan.
Hari ini kita dapat menyaksikan mudah-mudahan kita sendiri tidak termasuk di dalamnya orang-orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan sangat fasih dan mengerjakan shalat tepat waktu, namun di hatinya tertanam kebencian kepada Islam yang utuh. Sebab, banyak orang yang berpersepsi, Islam adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji jika mempunyai biaya. Urusan selain kelima perkara itu adalah hak pribadi setiap orang, kata mereka. Jika ada yang mengingatkan bahwa seorang muslim mesti mentaati semua aturan main yang diajarkan oleh Rasulullah saw, ada saja jawaban mereka. Jangan mengintervensi urusan orang lain; itu hak asasi, berIslam kok repot, dan seribu satu jawaban semisal lainnya.
Hakikat Taslim
Taslim atau istislam adalah tunduk, taat dan menerima apa saja yang datang dari Allah dan Rasulullah saw. Apa saja yang datang, baik itu berupa perintah ataupun larangan, tidak ada yang ditentang. Perintah dilaksanakan sebatas maksimal kemampuan dan larangan dijauhi. Semua dimanifestasikan secara lahir dan batin.
Allah berfirman,
“Maka demi Rabb mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak mendapati di dalam hati mereka satu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereks menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65)
Keputusan Allah dan Rasulullah saw adalah yang terbaik, meskipun terkadang terasa berat dan tidak enak. Pun Allah telah mengingatkan kita bahwa,
“….boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal iya amat buruk bagi mu, Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengatahui.”(QS. Al-Baqarah: 216)
Allah mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Dalam setiap ketetapannya, ada hikmah yang dalam. Hikmah yang boleh jadi tidak kita ketahui. Baik kirannya jika kita merenungkan pernyataan Muhammad bin Syihab az-Zuhari berikut ini:
“Risalah datang dari Allah , rasul bertugas menyampaikan, dan kita berkewajiban untuk menerima.”
Hakikat ittiba’
Ittiba’ yakni mengikuti Nabi saw. Beliau adalah utusan Allah; manusia yang paling tahu tentang maksud Allah yang tersurat maupun tersirat dalam firman-firman-Nya. Karenanya para salaf sepakat, jika ada ayat al-Qur’an yang makna dan maksudnya telah dijelaskan oleh Rasulullah, maka tidak ada seorang pun yang boleh membantahnya. Semua mesti mengikuti petunjuk beliau. Inilah hakikat ittiba’. Sesuatu yang akan mengantarkan kita kepada mahabbatullah.
Alah berfirman,
“Katakanlah, ‘jika kamu (benar-benar) mencintai Allah , berittyiba’lah kepada ku,niscahya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu! Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (QS. Ali-Imran: 31)
Imam Syafi’I berkata, “Aku beriman kepada Allah dan apa saja yang ada didalam kitabullah sebagaimana dikehendaki oleh Allah . Dan aku beriman kepada Rasulullah saw dan apa saja yang datang dari Rasulullah sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasulullah saw.”
Imam Ahmad beekata, “Kuamati Mushaf dan kudapati perintah untuk mentaati Rasulullah saw ada 33 tempat.” Kemudian beliau membaca,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS.An-Nuur: 63)
Imam Ahmad mengulang-ulang ayat itu. Kemudian beliau ditanya, apakah yang dimaksud dengan fitnah? Beliau menjawab bahwa fitnah itu adalah syirik. Kemusyikan. Maknanya, jika seseorang menolak sebagaian perintah Nabi saw, bisa jadi di hatinya ada sedikit penyimpangan sehingga hatinya menyimpan dan celakahlah dia.
Imam Ahmad juga pernah diberitahu adanya orang-orang yang menomorduakan sabda Nabi saw dan memilih pendapat sufyan bin ‘uyainah. Beliau berkata, “ saya heran dengan adanya orang-orang yang mendengar hadits, mengetahui isnad, dan keshahihannya, namun dia meninggalkan sabda Nabi saw dan memilih pendapat sufyan dan yang lain. Padahal Allah telah berfirman, “ maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)
Wahyu Versus Akal
Demikianlah, Islam adalah agama taslim dan ittiba’ maknanya menomor satukan wahyu dan menomorduakan selainnya. akal, pikiran, perasaan, insting, dan logika siapa pun mesti ditimbang dengan wahyu dan bukan sebaliknya: wahyu yang ditimbang dengan perkara-perkara itu. Sungguh, ada banyak perkara yang tidak masuk akal, pikiran, dan perasaan yang mesti kita terima dan kita ikuti, jika kita masih ingin dikatagorikan sebagai seorang muslim.
Apatah lagi, sekiranya kita hanya menerima perkara-perkara yang masuk akal saja, pastilah kita tidak akan memeluk agama ini, kita pasti akan melepaskannya. Sebab akal manusia ada yang tidak akan menerima adanya adzab kubur, ada yang mempermasalahkan adanya Rasul dari kalangan manusia, ada yang menginginkan supaya sunnah itu semua mutawatir. Ada juga yang menyatakan hanya mau mengambil al-Qur’an, tidak mau as-sunnah.
Sebenarnya orang mendahulukan akalnya daripada wahyu seperti orang yang meminta tolong penarik becak untuk mengantarkannya mencari obat sakit gigi. Penarik becak mengantarkannya ke dokter gigi terbaik. Orang itu menemui dokter dan diberi resep. Namun karena menurut penarik becak, resep itu tidak cocok untuk sakit yang diderita orang itu, maka penarik pecak itu menyarankannya untuk membuang resep itu dan mengikuti petunjuknya. Penarik becak adalah perumpamaan akal dan dokter gigi adalah perumpamaan wahyu. Saat seorang menghadapi suatu masalah dia bertanya kepada akalnya, bagaimana solusi masalah itu. Akalnya memberitahu bahwa dia harus merujuk kepada wahyu. Namun saat wahyu memberi solusinya, ternyata akal menganggapnya tidak benar. Semua tahu, jika orang itu mengikuti nasihat penarik becak dan membuang resep dokter gigi.
Akhirnya, siapa yang tak mau bertaslim dan berittiba’. Hendaklah mempertanyakan keIslamanya sendiri. Sebelum kelak dihadapkan kepada Allah sebagai orang-orang yang selagi di dunia bersusah payah, ternyata di akhirat tidak mendapatkan bagian Jannah. Na’udzu billahi min dzalik.
Sumber: majalah arrisalah