MENIMBANG ULANG HUKUM TAMBANG

MENIMBANG ULANG HUKUM TAMBANG

Oleh: Rusydi Rasyid

Lingkungan adalah segala sesuatu di sekitar manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan. Secara umum, lingkungan mencakup segala sesuatu yang ada di sekitar kita—seperti udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, manusia, serta interaksi di antara unsur-unsur tersebut.

Menjaga lingkungan dan melestarikannya adalah sebuah kewajiban bagi manusia, yaitu berdasarkan akal maupun nash syar’i. Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang secara khusus mengandung makna agar para manusia menjaga alam dan menghindari kerusakan. Allah berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ

Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-A’raf 56)

Pun secara akal; merawat dan menjaga lingkungan, sama halnya mengusahakan dan membangun masa depan yang berkelanjutan, sehat, dan harmonis bagi manusia dan seluruh makhluk hidup.

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian aktivitas manusia yang secara lahiriyah terlihat merusak alam, namun di sisi lain memang ada tujuan kemanfaatan; di antaranya adalah aktivitas pertambangan. Lalu bagaimana Islam memandang hal ini? Makalah ini akan sedikit menimbang permasalahan tentang hukum tambang dalam Islam.

Hukum Asal Segala Sesuatu

Allah ﷻ menciptakan alam semesta beserta isinya sebagai rahmat dan karunia bagi umat manusia. Di antara bentuk karunia tersebut adalah sumber daya alam seperti air, udara, tumbuhan, hewan, dan barang tambang.

Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah; 168)

Barang tambang merupakan kekayaan alam yang tersimpan di perut bumi, seperti emas, perak, tembaga, besi, batu bara, minyak bumi, gas alam, nikel, dan lain-lain. Dalam kehidupan modern, barang tambang menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan dan kesejahteraan umat manusia.

Kepentingan manusia terhadap barang tambang sangat luas dan menyentuh berbagai aspek kehidupan, juga berperan penting dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Dengan hasil tambang, manusia dapat menikmati berbagai kemudahan seperti listrik, alat komunikasi, kendaraan, dan berbagai infrastruktur publik. Bahkan, dalam bidang kesehatan, beberapa logam tambang digunakan dalam pembuatan alat medis, prostetik, dan peralatan laboratorium.

Maka, melihat urgensinya, keberadaan barang tambang menjadi sesuatu yang amat penting dalam kehidupan manusia. Namun, demikian perlu juga meninjau sisi dan variable lain supaya aktivitas pertambangan tidak dinilai haram dalam kacamata syariat.

Rambu-Rambu Aktivitas Pertambangan

Penting untuk diingat bahwa seluruh manfaat dari pertambangan harus diiringi dengan pengelolaan yang bertanggung jawab. Pemanfaatan barang tambang yang dilakukan secara serampangan dan tanpa pertimbangan matang justru dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, ketimpangan sosial, serta mengancam keberlangsungan hidup generasi mendatang.

Dari pendapat para ulama; di antaranya juga menurut Fatwa MUI No. 22 Tahun 2011: Tentang Pertambangan yang Ramah Lingkungan, dapat disimpulkan ada tiga rambu penting yang harus dijadikan acuan dalam aktivitas pertambangan:

Pertama: Pertimbangan Urgensi (al-Dharurah qabla al-istighlal)

Rambu pertama adalah pentingnya mempertimbangkan tingkat kebutuhan atau urgensi sebelum memulai kegiatan pertambangan. Dalam hal ini Syaikh Muhammad Yasin Padang (Fawaid Janiyah; 1/266),  merumuskan lima kondisi sebagai pertimbangan sebelum bertindak, yaitu dharurat, hajat, manfaat (memenuhi keinginan), zinah (keindahan), dan fudhul (kelebihan yang tidak perlu). Hal mana masing-masing kondisi mengharuskan konsekuensi yang berbeda.

Maka, tidak semua potensi tambang harus dieksploitasi secepat mungkin. Dalam Islam, tindakan baru dibenarkan bila memang diperlukan secara mendesak (dharurat), dibutuhkan (hajat) dan memberikan kemaslahatan nyata.

Jika kebutuhan terhadap hasil tambang belum mendesak atau justru bisa dipenuhi dengan cara lain yang lebih ringan dampaknya, maka eksploitasi sumber daya tersebut sebaiknya ditunda atau ditolak. Prinsip ini mengajarkan kehati-hatian agar manusia tidak tergesa-gesa dalam menguras nikmat Allah tanpa perhitungan, apalagi hanya demi keuntungan sesaat.

Kedua: Menghindari Kerusakan Lingkungan (Dar’u al-Mafsadah)

Kegiatan pertambangan yang tidak terkendali dapat menimbulkan berbagai bentuk mafsadah (kerusakan), seperti rusaknya ekosistem, hilangnya hutan, pencemaran air dan udara, serta bencana alam akibat ketidakseimbangan lingkungan. Dalam prinsip maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), menjaga alam termasuk dalam rangka hifzh al-bi’ah (pelestarian lingkungan) sebagai bagian dari tanggung jawab terhadap kehidupan.

Islam mengajarkan bahwa mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menarik manfaat. Ini sejalan dengan kaidah:

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menghilangkan mafsadat lebih didahulukan daripada mengambil manfaat. (Muhammad Shidqi Burnu, al-Wajiz; 265)

Oleh karena itu, kegiatan pertambangan harus disertai dengan analisis dampak lingkungan, program reklamasi, pengelolaan limbah, dan prinsip keberlanjutan untuk memastikan bahwa bumi tetap layak dihuni oleh generasi mendatang.

Ketiga: Keadilan Sosial dan Kemanfaatan Umum (Maslahah ‘Ammah)

Rambu ketiga adalah memastikan bahwa hasil tambang membawa kemaslahatan bersama dan bukan hanya keuntungan segelintir pihak. Kekayaan alam yang diciptakan Allah sejatinya adalah milik umat secara kolektif (milkiyyah ‘ammah).

Dalam banyak kasus, aktivitas pertambangan justru meminggirkan masyarakat adat, menimbulkan konflik agraria, hingga menyebabkan kemiskinan struktural. Ini tentu bertentangan dengan prinsip keadilan Islam, yang menempatkan manusia sebagai penerima manfaat, bukan korban pembangunan.

Karena jangankan untuk mengambil manfaat, untuk menghindari sebuah kerusakan saja harus mendahulukan pencegahan yang sifatnya umum dibanding yang lebih khusus.

يَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُّ لِأَجْلِ دَفْعِ الضَّرَرِ الْعَامِّ

“Bahaya yang khusus didahulukan untuk mencegah bahaya yang umum (Ibnu Nujaim, al-Asybah; 87).

Dengan berpegang pada tiga rambu utama, yakni pertimbangan urgensi, menghindari kerusakan, dan menegakkan keadilan sosial; maka kegiatan pertambangan akan terhindar dari praktik yang melanggar syariat atau menimbulkan dosa.

Bahkan, lebih dari sekadar proyek ekonomi semata, aktivitas pertambangan yang dikelola dengan prinsip-prinsip tersebut akan menjadi bagian dari pengabdian kepada Allah ﷻ, sekaligus manifestasi dari tugas kekhalifahan manusia di bumi: menjaga, mengelola, dan memanfaatkan alam dengan bijak, adil, dan penuh rasa tanggung jawab. Wallahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 Himayah Foundation