5 Rukhsah Dalam Safar
Para ahli fikih sepakat bahwa safar (bepergian) merupakan diantara sebab adanya rukhshah (keringanan) dalam syariat Islam. Hal ini karena orang yang melakukan safar secara dugaan kuat (ghalabatuzh zhann) akan mengalami kesulitan dan keletihan/beban (masyaqqah) dalam safarnya. Adapun rukhshah-rukhshah yang diberikan syariat bagi orang yang melakukan safar, yaitu:
MENGQASHAR SHALAT
Para ahli fikih sepakat -bahkan berijma’- mengenai masyru’iyyah (anjuran) mengqashar shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat. Meski mereka berbeda pendapat berkaitan dengan hukumnya. Menurut ahli fikih Hanafi, mengqashar shalat hukumnya fardhu (wajib). Sementara ahli fikih Maliki -menurut pendapat yang masyhur dan kuat dalam madzhab- berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah. Sedangkan dalam pandangan ahli fikih Syafi’i dan Hanbali hukumnya adalah jaiz (mubah). [Lihat Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/273-274].
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat” [QS. An-Nisa’ : 101]
MENJAMAK DUA SHALAT
Menjamak dua shalat fardhu secara umum -Zhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya‘-merupakan ibadah yang diperbolehkan berdasarkan ijma’ ahli flkih. Adapun jika diperinci, ada perbedaan diantara mereka berkaitan dengan sebab yang membolehkan menjamak shalat. Menurut ahli flkih Hanafi, sebab yang membolehkan menjamak shalat adalah haji saja; tidak sebab lainnya, termasuk safar. Itupun mereka batasi dengan menjamak Zhuhur dengan Ashar yang dikerjakan pada waktu Zhuhur di Arafah, dan Maghrib dengan Isya‘ yang dilaksanakan pada waktu lsya‘ di Muzdalifah.
Sementara jumhur ahli fikih -Maliki, Syafi’i, dan Hanbali- menjadikan safar sebagai salah satu sebab yang membolehkan seseorang menjamak shalat. [Lihat Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 27/287-288]
Di antara dalil yang digunakan jumhur ahli fikih yaitu hadits Anas bin Malik. Ia pernah menuturkan,
كان النبي صلى الله عليه وسلم يجمع بين صلاة المغرب والعشاء في السفر
“Nabi shallahu’alaihi wasallam terbiasa menjamak antara shalat Maghrib dan lsya’ saat beliau safar.” [HR. Al Bukhari, no hadits. 1108]
GUGURNYA KEWAJIBAN SHALAT JUM’AT
Para ahli fikih sepakat bahwa seorang musafir tidak diwajibkan untuk melaksanakan shalat Jum’at saat ia sedang dalam safarnya. Menurut lbnu Mundzir, mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat Jum’at tidak diwajibkan bagi seorang musafir.” [Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/485]
MENGUSAP KHUFF TIGA HARI T1GA MALAM
Dalam permasalahan thaharah (bersuci), rukhshah lain yang diberikan bagi seorang musafir adalah bolehnya mengusap khuff selama tiga hari. Khuff adalah alas kaki yang menutupi mata kaki. Bisa berupa kaos kaki dan sepatu tinggi yang menutupi mata kaki. Terkhusus jika menanggalkannya akan menyebabkan terjadinya kesulitan.
Hukum asal mengusuf khuf adalah jawaz (mubah). Menurut jumhur ahli fikih selain Hambali, mencuci kaki saat bersuci lebih utama dibanding dengan mengusap khuff Sedangkan ahli flkih Hanbali berpendapat bahwa mengusap khuff lebih utama dibanding mencuci kaki. [Lihat Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 37/261-263]
Dalam pandangan jumhur ahli fikih -Hanafi, Syafi’i, dan Hambali- batas maksimal orang mukim mengusap khuff adalah sehari semalam, sedangkan bagi seorang musaflr adalah tiga hari tiga malam.
Adapun ahli fikih Maliki berpendapat bahwa tidak ada batasan waktu dalam mengusap khuff baik bagi yang mukim maupun musafir, selama adanya masyaqqah jika menanggalkannya. Kecuali jika ada sebab yang mengharuskan menanggalkannya, seperti karena junub. Akan tetapi, ahli fikih Maliki menganjurkan Untuk melepaskannya sekali dalam seminggu, yaitu pada hari Jum’at. Meski ia tidak berkeinginan untuk mandi Jum’at. [Lihat Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah, 37/263-264].
Dalil yang digunakan jumhur yaitu hadits Ali bin Abi Thalib. la menyebutkan,
جعل رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاثة أيام ولياليهن للمسافر، ويومًا وليلة للمقيم
Rasulullah memberikan waktu tiga hari tiga malam bagi musaf’ir (untuk mengusap khuff), dan sehari semalam untuk orang yang mukim.” [HR. Muslim. No hadits. 276]
BERBUKA BAGI YANG SHIYAM
Selain dalam permasalahan shalat dan thaharah, rukhshah safar juga diberikan dalam persoalan shiyam. Yaitu dengan membolehkan berbuka orang yang sedang menjalankan shiyam wajib, seperti shiyam Ramadhan dan nadzar. Sebagai gantinya. hal itu diwajibkan untuk diqadha (diganti) pada hari-hari yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah ta’ala, “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak shiyam), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” [QS. Al-Baqarah: 185]. Wallahu A’lam. [Ali Sadikin, Majalah Hujjah 23 ]