Empat Tujuan Turunnya Al Qur’an
Oleh: Ust. Zaid Royani, S.Pd.I
Tuntutan Al Qur’an kepada setiap muslim selain membaca dan menghafalkan ayat-ayatnya adalah mentadabburinya. Mentadabburi ayat Al Qur’an adalah merenungi makna-makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena tanpa mentadabburi makna ayat seorang muslim tidak faham apa fungsi dan tujuan Al Qur’an.
Adanya fenomena orang yang disebut Rasulullah dalam sabdanya:
يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
“Mereka membaca Al Qur’an namun bacaan itu hanya sampai pada kerongkongan mereka saja.” (HR. Ahmad dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Bacaan Al Qur’an yang hanya sampai kerongkongan adalah bahasa kiasan untuk orang membaca Al Qur’an namun tidak memahami maknanya serta enggan untuk mengamalkan.
Maka mentadabburi Al Qur’an adalah jalan bagi seorang muslim untuk memahami tujuan dasar diturunkannya Al Qur’an. Sebab, tidak sedikit orang yang buta terhadap tujuan dasar turunnya Al Qur’an atau salah dalam memahami tujuan utama diturunkannya Al Qur’an, sehingga memahami tujuan parsial sebagai tujuan subtansial.
Sebagai contoh adalah orang yang hanya memahami bahwa Al Qur’an hanya diperuntukkan bagi orang meninggal. Membaca Al Qur’an hanya saat melayat orang meninggal. Memutar rekaman bacaan Al Qur’an saat pelayatan orang meninggal.
Atau memahami bahwa Al Qur’an hanya sarana hadirnya keberkahan. Menjadikan potongan ayat Al Qur’an untuk dijadikan jimat untuk digantungkan di tubuh, rumah atau kendaraan. Membaca Al Qur’an hanya saat pembukaan suatu acara pertemuan. Ini semua adalah bentuk memahami tujuan parsial Al Qur’an sebagai tujuan subtansial.
Maka penting bagi setiap muslim untuk memahami tujuan utama diturunkannya Al Qur’an. Dr. Shalah Abdul Fatah Al Khalidi dalam buku beliau yang berjudul Mafaatiih Lita’ammuli Ma’al Qur’an menjelaskan empat tujuan dasar turunnya Al Qur’an.
Pertama, Al Qur’an Sebagai Hidayah.
Tujuan utama turunnya Al Qur’an untuk memberi petunjuk manusia menuju Allah Ta’ala. Petunjuk yang bersifat universal, mencakup seluruh kebutuhan dan masalah hidup manusia. Sehingga tidak ada satu masalah pun dalam hidup manusia yang tidak bisa diselesaikan oleh Al Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ يَهۡدِي لِلَّتِي هِيَ أَقۡوَمُ وَيُبَشِّرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلصَّلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ أَجۡرٗا كَبِيرٗا
“Sungguh, Al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar. (QS. Al-Isra’: 9)
Makna petunjuk dalam ayat ini bersifat umum yaitu Al Qur’an akan menjadi panduan bagi kehidupan manusia baik saat beribadah kepada Allah, berinteraksi dengan manusia, berkerja, dan melakukan berbagai aktivitas keseharian. Dengan menggunakan petunjuk Al Qur’an manusia akan selamat saat menemui Allah.
Selain itupula Allah Ta’ala mengutus Rasul-Nya untuk menjelaskan Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
يَٰأَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ قَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولُنَا يُبَيِّنُ لَكُمۡ كَثِيرٗا مِّمَّا كُنتُمۡ تُخۡفُونَ مِنَ ٱلۡكِتَٰبِ وَيَعۡفُواْ عَن كَثِيرٖۚ قَدۡ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٞ وَكِتَٰبٞ مُّبِينٞ يَهۡدِي بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ
“Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan. Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Ma’idah: 15-16)
Maka barang siapa yang tidak menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk dalam hidupnya, tidak menjadikan Al Qur’an sebagai hukum dalam kehidupannya maka ia telah gagal dalam memahami tujuan utama Al Qur’an. Karena itu pula ia akan menjadi orang yang tersesat dalam kehidupan ini.
Kedua, Mencetak Pribadi Muslim yang Sempurna.
Allah Ta’ala pertama kali menurunkan Al Qur’an di tengah-tengah masyarakat Arab Jahiliyah. Jiwa mereka telah dirusak oleh kejahilan sehingga mereka melakukan kesyirikan, melakukan perbuatan keji dan mungkar; berzina, membunuh, minum khamer, berbuat dhalim dan sederet jenis kejahatan telah mereka lakukan.
Maka dalam kurun waktu yang begitu singkat Al Qur’an mengubah keadaan mereka hingga 180 derajat dari kekafiran menuju iman, dari kehinaan mentuju kemuliaan, dari kedzliman menuju keadilan semuanya karena Al Qur’an.
Al Qur’an ibarat tetesan hujan yang menghidupkan kembali ruh manusia yang telah mati. Allah Ta’ala berfirman:
أَوَمَن كَانَ مَيۡتٗا فَأَحۡيَيۡنَٰهُ وَجَعَلۡنَا لَهُۥ نُورٗا يَمۡشِي بِهِۦ فِي ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ لَيۡسَ بِخَارِجٖ مِّنۡهَاۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلۡكَٰفِرِينَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 122)
Lihatlah bagaimana Al Qur’an merubah pribadi Umar bin Khattab dari sosok yang berakhlak buruk, kasar menjadi pribadi yang sempurna dalam ibadah, akhlak dan lainnya.
Maka barangsiapa setelah sekian lama berinteraksi dengan Al Qur’an namun belum membentuk karakter pribadi mukmin yang sempurna maka bisa jadi ia salah dalam memahami tujuan utama Al Qur’an.
Ketiga, Mewujudkan Masyarakat Islami
Masyarakat Islami adalah masyarakat yang terbentuk dari pribadi-pribadi yang berkarakter Al Qur’an. Suatu masyarakat yang pondasi, tonggak-tongganya dibangun atas dasar Al Qur’an serta orientasi hidupnya pun berdasarkan Al Qur’an.
Masyarakat Islami adalah masyarakat yang siap untuk membumikan Al Qur’an. Makna membumikan Al Qur’an adalah mengaplikasikan nilai-nilai Al Qur’an pada setiap lini kehidupan manusia. Bagaimana mungkin hukum hukum Al Qur’an akan diterapkan oleh orang yang tidak memahami tujuan Al Qur’an apalagi orang yang memusuhi Al Qur’an.
Masyarakat islami adalah jauh daripada kerusakan dan kehancuran. Jika mendambakan baldatun thayyibatun warabbun ghafuurin , negeri yang aman dan makmur hendaknya menciptakan masyarakat Islami. Masyarakat yang rusak dengan melakukan kemaksiatan, kemungkaran maka sangat cepat mengundang adzab Allah.
Maka bagi para penguasa jika bingung dari mana akan membangun masyarakat ke arah yang lebih baik maka mulailah dari Al Qur’an.
Al Qur’an telah terbukti mampu merubah satu masyarat yang dari segi akhlak, budaya terhinakan menjadi masyarakat mulia dan disegani oleh bangsa yang besar kala itu.
Allah Ta’ala berfirman:
يَٰأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. Al-Anfal: 24)
Allah memanggil orang-orang beriman untuk menjawab panggilan Allah dan Rasul-Nya agar kehidupan mereka jauh lebih baik.
Keempat, Memerangi nilai-nilai jahiliyah
AL Qur’an merupakan representasi dari cahaya sedangkan jahiliyyah adalah representasi dari kegelapan. Allah ingin mengeluarkan manusia dari kegelapan jahiliyyah menuju cahaya Islam dengan perantara Al Qur’an.
Maka Allah menjadikan Al Qur’an sebagai petunjuk untuk mengenal dan memerangi jahiliyyah yang menjadi musuh cahaya Islam itu, apa macam-macam kejahiliyyahan, apa dampak dari kejahiliyyahan, bagaimana cara melawan kejahiliyyahan dan masih banyak lagi informasi yang disampaikan Al Qur’an tentang jahiliyyah.
Ada empat bentuk jahiliyyah yang disebutkan dalam Al Qur’an.
Pertama, dzan (prasangka) jahiliyyah. Makna dari prasangka jahiliyyah adalah asumsi yang menyebar di tengah umat bahwa apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya tidaklah benar. Hal ini mengakibatkan kerusakan aqidah. Segala bentuk kesyirikan, kesesatan munculnya karena dzan jahiliyyah (prasangka jahiliyyah).
Allah Ta’ala berfirman,
وَطَائِفَةٌ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنْفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَلْ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ مِنْ شَيْءٍ قُلْ إِنَّ الْأَمْرَ كُلَّهُ لِلَّهِ
“Sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri, mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?.” Katakanlah: “Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.” (QS. Ali Imran: 154)
Kedua, Hukum Jahiliyyah. Hukum dalam kehidupan manusia hanya ada dua yang pertama hukum Allah dan kedua hukum jahiliyyah yang dibuat oleh manusia. Ketika manusia lebih memilih untuk menggunakan hukum buatan manusia seperti demokrasi maka ia telah menggunakan hukum jahiliyyah. Hal itu sekaligus membuat keyakinan bahwa hukum Allah tidak layak untuk diterapkan dalam kehidupan manusia. Inilah yang menjadi sumber kerusakan dalam kehidupan manusia baik dari segi sosial, ekonomi dan lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah mereka mau mencari hukum Jahiliyah. Siapa yang lebih baik hukumya bagi orang yang yakin?” (QS. an-Nisa: 50)
Ketiga, Tabarruj Jahiliyyah. Makna dari tabarruj jahiliyyah adalah fenomena besarnya godaan syahwat yang sering dilakukan oleh wanita. Atau fenomena eksploitasi wanita sebagai sarana mengundang syawat. Maka Islam datang untuk memberi arahan kepada para wanita untuk tidak bertabarruj.
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ
Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan tegakkanlah shalat. (QS. al-Ahzab: 33)
Keempat, Fanatisme Jahiliyyah. Salah satu jenis jahiliyyah adalah fanatisme golongan. Orang pada zaman jahiliyyah meletakkan ukuran benar dan salah pada golongan, suku dan lainnya. Maka Islam datang untuk menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai ukuran kebenaran. Sehingga fanatisme golongan harus bersih dari hati orang beriman.
Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya.” (QS. al-Fath: 26)
Inilah empat macam jahiliyyah yang disebut dalam Al Qur’an sebagai panduan kaum muslimin jika ingin memerangi jahiliyyah.
Begitupula inilah empat tujuan diturunkannya Al Qur’an kepada manusia. Semoga dengan memperhatikan keempat hal ini kita dapat memahami lebih baik tentang isi Al Qur’an. Wallahu a’lam.