Dalam Islam, keimanan seseorang tidak hanya diwujudkan melalui ritual seperti salat dan puasa, tetapi juga tercermin dalam perilaku sehari-hari, termasuk dalam interaksi sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan hidup. Oleh karena itu, merawat alam bukan sekedar tanggung jawab sosial, melainkan juga merupakan perintah agama.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 35:
اَلْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ
“Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama adalah ucapan ‘lā ilāha illallāh’, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa keimanan memiliki banyak tingkatan dan dimensi, termasuk tindakan-tindakan kecil yang membawa manfaat. Jika menyingkirkan gangguan dari jalan sudah termasuk bagian dari iman, maka menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan tentu termasuk amal yang lebih utama. Bahkan dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, no. 328, Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa kesucian (kebersihan) adalah setengah dari iman.
Islam dan Kepedulian Terhadap Lingkungan
Ajaran Islam telah memberikan perhatian besar terhadap masalah lingkungan. Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam menyebutkan bahwa tujuan manusia ditetapkan di muka bumi ini adalah untuk menjadi khalifah (pengelola atau pemimpin), yang berarti memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga alam semesta.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 30:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ ِانِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةًۗ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
Dengan demikian, setiap manusia secara umum dan khususnya umat Islam memiliki kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam, baik di darat maupun di laut. K.H. Ali Yafie dalam bukunya, “Merintis Fiqih Lingkungan Hidup” menegaskan bahwa umat Islam memikul amanah besar dalam menjaga kualitas air, kesegaran udara, kebersihan tanah, dan memelihara suasana dari polusi udara. Karena itu, adanya kerusakan alam dan lingkungan hakikatnya merupakan akibat dari ulah manusia itu sendiri.
Dengan tegas Allah Ta’ala mengingatkan dalam surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Dengan demikian, penjagaan dan pelestarian lingkungan merupakan bagian dari tanggung jawab keagamaan yang bersifat integral dalam Islam, yang dikenal dengan konsep hifẓ al-bī’ah (pelestarian lingkungan). Abdul Majid al-Najjar dalam bukunya, “Maqāṣid al-Syarī‘ah bi Ab‘ād Jadīdah” menegaskan bahwa pelestarikan lingkungan adalah diskursus penting di tengah krisis ekologis yang semakin akut dan kompleks.
Al-Najjar membagi pelestarian lingkungan tersebut dalam empat aspek utama, yaitu: pertama, hifẓ al-bī’ah min al-talaf: (pelestarian lingkungan dari kerusakan); kedua, hifẓ al-bī’ah min al-talawwuts (pelestarian lingkungan dari pencemaran); ketiga, hifẓ al-bī’ah min farth al-istiḥlāk (pelestarian lingkungan dari konsumsi berlebih); dan keempat, hifẓ al-bī’ah bi al-tanmiyyah (pelestarian lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan). Keempat aspek ini mencerminkan komitmen Islam terhadap keberlanjutan hidup dan menjadi dasar penting dalam mewujudkan peran manusia sebagai khalifah di bumi.
Tanggung Jawab Bersama
Menjaga dan melestarikan lingkungan merupakan tanggung jawab kita bersama dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, lembaga keagamaan, institusi pendidikan, para tokoh berpengaruh, keluarga, hingga individu. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun telah menunjukkan komitmennya terhadap isu ini melalui sejumlah fatwa, antara lain: pertama: Fatwa MUI No. 22 Tahun 2011: Tentang Pertambangan yang Ramah Lingkungan; kedua, Fatwa MUI No. 04 Tahun 2014: Tentang Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem; ketiga, Fatwa MUI No. 41 Tahun 2014: Tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan; keempat, Fatwa MUI No. 30 Tahun 2016: Tentang Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan serta Pengendaliannya.
Oleh karena itu, untuk menciptakan dampak yang nyata, semua lini tersebut harus saling bersinergi. Upaya pelestarian lingkungan tidak akan efektif jika dilakukan secara parsial atau sektoral. Sinergi antara regulasi pemerintah, fatwa keagamaan, pendidikan masyarakat, partisipasi individu, dan tanggung jawab korporasi akan membentuk ekosistem sosial yang berwawasan lingkungan dan religius. Dalam hal ini, konsep ta’āwun ‘ala al-birr wa al-taqwā (saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) menjadi prinsip utama dalam gerakan kolektif merawat dan melestarikan lingkungan.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian mengenai upaya pelestarian dan perawatan lingkungan merupakan kajian yang sangat penting. Dalam ajaran Islam, isu lingkungan mendapat perhatian yang serius. Al-Qur’an, sebagai sumber utama ajaran Islam, menyebutkan bahwa tujuan ditetapkannya manusia di muka bumi adalah untuk menjadi khalifah, yang mengandung makna tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga kelestarian alam semesta. Oleh karena itu, merawat dan melestarikan lingkungan bukan sekadar kewajiban moral, tetapi juga bagian integral dari keimanan yang seharusnya diwujudkan dalam tindakan nyata oleh setiap individu. Kemudian untuk menciptakan dampak yang nyata, semua lapisan masyarakat harus terlibat dan saling bersinergi.
Oleh; Amir Sahidin, M.Ag
Mahasiswa Doktoral Unida Gontor






